KEJ Dewan Pers, Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Jelas terlihat, bagi PWI soal moralitas sangat penting, ditandai dengan keharusan beriman dan bertakwa kepada Sang Pencipta, kemudian juga harus menjadi warga negara sejalan dengan ideologi bangsa, dan tunduk pada konstitusi negara.
Anggota PWI jelas diposisikan sebagai orang beriman terlebih dahulu, Pancasilais, taat pada undang-undang dasar, baru kemudian dia menjadi wartawan yang profesional. Artinya, anggota PWI menekankan pada kewargaan Indonesia dulu, baru profesi kewartawanan.
Sementara di KEJ Dewan Pers, yang dikedepankan adalah profesinya, tidak peduli apakah itu
lalu berseberangan atau bertentangan dengan statusnya sebagai warga negara atau tidak.
Wartawan adalah profesi yang bebas domisili, bebas negara. Acuannya memang kewartawan
yang bersifat universal, hak asasi universal, mengacu pada globalisme.
Baca Juga: BMKG prakirakan hujan lebat melanda 11 provinsi saat Natal 25 Desember 2022
Di Pasal 1 itu ada kata ksatria dan terpercaya, dua kata yang membuat kita membayangkan
keluhuran budi, sikap arif bijaksana, bertanggungjawab, menjunjung tinggi kebenaran, rendah hati, jujur, yang seharusnya menjadi salah satu ciri anggota PWI dalam menjalankan profesi jurnalistiknya.
Tentu saja sifat-sifat itu ideal dan tidak mudah dijalankan, tetapi setidaknya itulah harapan para pendiri dan pendahulu PWI yang kita hormati kepada orang yang sukarela masuk ke organisasi PWI. Dan mereka yang menjadi pengurus PWI baik di tingkat nasional, provinsi, ataupun kabupaten-kota, berkewajiban menjaga kewibawaan organisasinya dengan
terus mengawal agar anggotanya taat pada Kode Etik.
***
Heboh kasus anggota polisi Umbaran Wibowo yang sempat menjadi wartawan selama 14 tahun dan menjadi anggota PWI dengan status Wartawan Madya, sedikit banyak menggerus rasa percaya masyarakat pada profesi wartawan. Bisa jadi ada masyarakat yang akan bertanya.
tanya apakah wartawan yang dihadapinya wartawan sungguhan atau apparat penegak hukum
yang sedang menyamar? Di sisi lain moralitas wartawan juga akan menurun karena
kolegialisme jadi ikut terusik, bisa jadi dia tidak lagi memercaya rekan kerjanya yang kebetulan sama-sama meliput suatu peristiwa.
Baca Juga: Yuk rayakan kemeriahan akhir tahun bersama INNSiDE Yogyakarta, yang punya berbagai promo menarik
Walaupun selama ini di daerah tertentu banyak wartawan yang tahu bahwa ada banyak orang
yang menjadikan pekerjaan wartawan sebagai tameng untuk mendapatkan informasi dari
masyarakat, kasus Umbaran Wibowo, menimbulkan trauma. Pemecatan yang telah dilakukan
Dewan Kehormatan PWI—untuk ditindaklanjuti Pengurus PWI Pusat-- belum akan segera
memulihkan kepercayaan. Karena dampaknya tidak hanya terkait dengan PWI tetapi prfesi
wartawan secara keseluruhan. Dewan Kehormatan PWI juga seharusnya menyisir kembali
anggota-anggota PWI secara menyeluruh, baik secara langsung maupun melalui DK Provinsi,
sehingga kasus seperti Umbaran Wibowo tidak terjadi lagi. Bisa juga dengan menunggu
pengaduan dan informasi dari masyarakat.
Saya beberapa kali mendapat informasi di sejumlah provinsi ada ASN yang memiliki kartu
kompetensi, padahal dia tidak melakukan kerja jurnalistik, dengan tujuan untuk menakut-nakuti atasannya atau mengambil keuntungan pribadi. Sayangnya informasi yang diberikan tidak lengkap jadi tidak dapat dilaporkan baik ke Dewan Pers ataupun ke Pengurus PWI Pusat.
Baca Juga: Pembentukan Panwaslu Desa mulai disosialisasikan
***
Kembali ke soal moralitas, dalam tarafnya yang tertinggi, seseorang yang merasa bahwa dirinya sudah tidak layak menjadi wartawan, akan mengundurkan diri secara ksatria. Saat memimpin di suatu media, ada dua anak buah saya yang menyampaikan surat berhenti karena dia tidak lagi merasa cukup pantas menjadi wartawan.
Alasannya, pendapatan tidak memadai dan dia tidak mau mencederai kewartawanannya. Saya bangga karena mereka kini dalam posisi yang baik di sebuah perusahaan swasta, dengan gaji yang mungkin 5 kali lipat dibanding pendapatan saat menjadi wartawan.