Sebagai ‘abdi Allah (hamba Allah), manusia harus pandai menempatkan dirinya sebagai pengabdi dengan sunguguh-sungguh dan penuh dengan keikhlasan.
Kemampuan ini tergambar dari pola sikap dan perilakunya, yakni apakah manusia sanggup menjalankan kehidupan secara seimbang antara pemenuhan kehidupan dunianya dan persiapan hidup kekal di akhiratnya.
Baca Juga: Landasan utama penerapan pendidikan inklusi di Indonesia
Peran ini erat kaitannya dengan ridha Allah SWT, dalam arti apapun aktivitas manusia dalam hubungan antarmanusia maupun antarsesama makhluk harus atas dasar keridhaan-Nya.
Gambaran ini sekaligus dapat dijadikan sebagai indikator tingkat kesungguhan manusia dalam memerankan dirinya selaku hamba Allah secara utuh.
Tolok ukur hablum minannas (hubungan antar manusia) bukanlah berdasarkan nafsu kita, melainkan bagaimana Allah telah berbuat baik kepada manusia.
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”. (QS Al-Qasas, 28:77).
Dalam mempertanggungjawabkan amal perbuatan, tidak seorang pun dapat memungkiri akan apa yang telah dilakukannya di dunia yang fana ini.
Manusia akan memberikan kesaksian langsung yang tidak mungkin dibantah oleh mulut, sebab pada saat itu mulut telah dikunci, demikian pula kaki, tangan, serta anggota tubuh lainnya akan memberikan kesaksian apapun yang telah dikerjakan ketika hidup di dunia.
Baca Juga: Lima syarat taubat nasuha, salah satu diantaranya bertekad untuk tidak mengulangi dosa
Allah SWT berfirman: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan” (QS Yasin, 36:65).
Oleh karena itu, janganlah kesenangan duniawi menjadikan lupa (kekekalan) akhirat.
Mempersiapkan akhirat yang baik, tanpa (harus) melupakan apa yang menjadi hak-haknya di dunia ini, itulah keseimbangan hidup dalam perspektif Islam. *