Sepadan dengan ajaran Rasulullah di atas, orang Jawa mengenal ajaran tentang “sangkan paraning dumadi” menuju “manunggaling kawula lan Gusti”. Itulah, suatu ilmu Kejawen (kepercayaan tradisional Jawa) tentang asal, awal, proses, dan muara kehidupan.
Persepakbolaan pun mestinya dikelola dalam bingkai pengembaraan musafir, dimulai dari “sangkan paraning dumadi” menuju “manunggaling kawula lan Gusti” itu. Dengan demikian, dalam sepakbola ada nilai ibadahnya, sekaligus terjauhkan dari sikap sekuler dan materialistik semata.
Baca Juga: Tujuh perlakuan orangtua yang tidak tepat kepada anak, diantaranya terlalu melindungi
Sangkan berarti asal-muasal. Paran berarti tujuan. Dan dumadi artinya semua kejadian (penciptaan). Melalui ajaran ini, semua insan sepakbola diberi tahu tentang asal-muasal dirinya, apa yang mesti diperbuat ketika mengelola ataupun bermain sepakbola, dan apa target yang perlu dicapai. Tidak lain, adalah keridhaan Sang Pencipta.
Amat bagus, apa yang diajarkan pelatih Bima Sakti, perihal moralitas dan mentalitas anak-anak (pemain). Mereka harus shalat berjamaah. Disiplin. Jujur. Sportif. Kalau lalai, rela dijatuhi sanksi hukuman.
Kini, persepakbolaan nasional berada dalam tahapan berkelana, pengembaraan, paran (proses menuju) ke masa depan yang lebih baik. Selama proses ini berlangsung, semua pihak perlu ekstra hati-hati. Banyak godaan. Bujuk rayu. Iming-iming. Persepakbolaan menjadi rentan berbelok visi dan misinya.
Baca Juga: Presiden FIFA datang ke Indonesia bukan untuk rayakan kemenangan, tapi karena kejadian memilukan
Hanya dengan berpegang teguh pada petunjuk-Nya, persepakbolaan akan selamat, terselenggara, tanpa tragedi. Artinya, aktivitas persepakbolaan apapun, mesti dikelola dalam bingkai ketaatan dalam menjalankan perintah-perintah-Nya, dan sekaligus ketaatan pada aturan FIFA.
Pertanyaannya, sudahkan insan-insan persepakbolaan di tanah air, amanah terhadap di hukum-hukum Tuhan maupun aturan FIFA?
Sungguh celaka, ternyata banyak orang sering sembrana, ugal-ugalan. Sering kita jumpai, supporter sok jagoan. Bikin onar di jalan umum. Motor digeber. Jalan dikuasai, dan pengendara lain dipaksa minggir. Berbagai hukum dan aturan dilanggar, dimain-mainkan dengan nada senda gurau.
Benar, bahwa realitas sosiologis menunjukkan bahwa kehidupan dunia ini, sarat dengan permainan dan senda gurau. Akan tetapi, negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti? (QS al-An'am: 32). Dari peringatan Allah SWT ini, hendaknya permainan dan senda gurau sebatas kewajaran saja. Jangan melampaui batas. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan” (QS al-Qashash: 77).
Baca Juga: Piala Dunia U-20 2023 tetap di Indonesia, tapi FIFA menyampaikan beberapa syarat
Tragedi Kanjuruhan, merupakan contoh kasus aktual, dimana ada indikasi gas air mata kadaluwarsa dijadikan alat pengamanan yang melampaui batas kewajaran. Akibatnya, 132 orang tewas mengenaskan. TGIPF menemukan fakta bahwa terjadi saling menghindar dari tanggung jawab operasional lapangan antara federasi, pengelola liga, panitia pelaksana, pihak keamanan, hingga penyelenggara siaran. Atas fakta ini, maka siapapun terbukti melanggar hukum dan aturan FIFA, mesti ditindak tegas.
Sulit dipungkiri dan disayangkan, ketika persepakbolaan berkelindan dengan aktivitas bisnis, judi, fanatisme buta, dan tindak kekerasan. Ujungnya, bukan kesejahteraan lahir-batin dan ridha Allah SWT yang diperoleh, melainkan tragedi.
Demi masa depan persepakbolaan nasional, pengelolaannya harus dibenahi serius. Sepakbola mesti dikelola sebagai aktivitas olah raga yang bernilai ibadah. Siapapun terlibat dalamnya, mesti sadar akan posisinya sebagai musafir yang sedang berkelana, mengembara, mencari bagian kesejahteraan hidup dan keridhaan Allah SWT.