Pada dimensi sosiologi hukum, publik khawatir, seiring perjalanan proses hukum dan sidang etik, jumlah pelaku obstruction of justice atas kasus pembunuhan di Duren Tiga, semakin bertambah. Boleh jadi, mereka menyusup dan mempengaruhi proses hukum di Kejaksaan, atau di Pengdilan, atau di tempat-tempat lain. Mengapa demikian? Karena diduga, selama ini, mereka tergolong orang-orang diuntungkan oleh para tersangka, ataupun sistem yang korup/buruk. Mereka tidak ingin keuntungannya berkurang, posisinya terganggu, karirnya terhambat.
Sungguh celaka bila pelaku obstruction of justice masuk di lembaga yudikatif. Dia mampu mempengaruhi, bahkan mendikte proses peradilan, menentukan siapa hakim-hakimnya, merancang ancaman hukuman, hingga berat/ringannya vonis hakim. Atas nama independensi lembaga yudikatif, siapapun (termasuk Presiden, Menkopolhukam, Timsus, dan lain-lain) tidak dimungkinkan mengintervensi. Drama penegakan hukum pun, dikhawatirkan berakhir pada unhappy ending. Rakyat, pendamba keadilan, akan gigit jari.
Dalam bingkai kekhawatiran demikian, sangat diharapkan, pihak-pihak berkompeten, lebih waspada terhadap siapapun. Utamanya, orang yang terindikasi memutar-balikan fakta, mengulur-ulur proses peradilan, memberikan kesaksian palsu, mengumbar pernyataan politis, mempersempit lingkup kasus Duren Tiga. Telah diketahui publik, bahwa sedemikian kompleks dan rumit kasus ini. Terindikasi, di dalamnya ada kejahatan perjudian online, peredaran narkoba, aliran-aliran dana ilegal, kerakusan kekuasaan, dan lain-lain.
Baca Juga: KPK jadwalkan periksa Lukas Enembe pada 26 September 2022
Publik sangat berharap, Tim Khusus (Timsus), beserta orang-orang baik pendukungnya, mampu bekerja profesional, sehingga kasus ini tuntas secara menyeluruh. Perlu kewaspadaan dan pencegahan, terhadap segala upaya mendistorsi kasus ini. Demi bangsa, justru, kejahatan-kejahatan lain yang terungkap dari kasus ini, penting ditangani secara tuntas.
Hemat saya, harapan di atas, akan menjadi kenyataan, manakala orang-orang baik di negeri ini, mau bersungguh-sungguh bersinergi, bergerak bersama, berkomitmen, untuk memperbaiki negara hukum, sesuai amanah Pancasila. Dapat diyakini, orang-orang baik di negeri ini masih banyak. Siapakah orang-orang baik itu?
Dalam rumusan singkat dan padat, orang baik adalah orang yang bertaqwa kepada TuhanYang Maha Esa. Selaku orang beradab, dia senantiasa berbuat adil, kepada siapapun. Mengedepankan pentingnya persatuan bangsa. Ketika ada permasalahan, selalu diselesaikan dengan musyawarah. Orientasi kehidupannya, tertuju pada terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ditukikkan pada Sila ke-1 Pancasila, maka wajib dipahami seksama, firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya (QS-al-Bayyinah 7-8).
Baca Juga: AKP Vifa Fibriana Sari, Kasat Lantas Polres Lhokseumawe ikuti studi banding kepolisian ke Jepang
Dari petunjuk di atas, dapat dikenali tanda-tanda orang baik, yakni: Kadar keimanannya tinggi. Selalu beramal saleh. Dia ridha terhadap Allah, dan Allah pun ridha kepadanya. Hukum Tuhan, dijadikan rujukan utama. Tidak sekali-kali menempatkan dirinya sekadar corong undang-undang (les bouches, qui prononcent les paroles de la loi). Senantiasa sadar bahwa segala perilakunya, mesti dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun akhirat.
Negeri ini, sangat membutuhkan kiprah orang-orang baik. Pekerjaan rumah di bidang hukum, semakin berjibun. Demi keadilan, hukum harus ditegakkan, walaupun langit runtuh (fiat justitia ruat caelum). Wallahu’alam.
*)Prof Dr Sudjito SH MSi, Guru Besar Ilmu Hukum UGM