Oleh: Sudjito Atmoredjo*
SEMANGAT kemerdekaan dan semangat kebangsaan, semestinya terus disemai dan dipupuk di negeri ini. Patut diparesiasi, bahwa penyusun UUPA (UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria) memiliki komitmen dan konsisten, dalam menjabarkan semangat-semangat itu ke dalam konstruksi gender di bidang pertanahan.
Tersurat pada Pasal 9 ayat (2): “Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah, serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri, maupun keluarganya”.
Penyebutan “tiap-tiap warga-negara Indonesia” pada pasal itu, merupakan satu kesatuan pengertian dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1 dan 2). Pasal 1 ayat (1): “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”.
Baca Juga: Kompak Jogis gelar kopdar dua bulan sekali, saling semangati jalankan usaha mandiri
Rakyat atau bangsa pada pasal ini, dipadankan dengan sekumpulan manusia (warga-negara) yang berdaulat atas willayah negaranya. Wilayah dimaksud mencakup: ”bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. Dalam pada itu, apa yang disebut ”tanah” adalah permukaan (lapisan atas) bumi yang padat.
Pasal 1 ayat (2): ”Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.
Pada pasal ini, ditanamkan kesadaran religius bahwa segalanya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya, bangsa Indonesia, mesti mensyukurinya, dan bertanggungjawab untuk menjaga kelestariannya, mencegah kerusakannya (Pasal 15).
Baca Juga: Ajudan istri Ferdy Sambo Brigadir RR jadi tersangka, penyidik sudah kantongi dua bukti
Pada pasal-pasal di atas, ditanamkan wawasan kebangsaan (nasionalisme). Kata-kata: ”adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”, mengandung pesan moral agar kepentingan bangsa ditempatkan di atas kepentingan pribadi.
Ditegaskan dalam Pasal 6: ”Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Ketentuan demikian, sungguh sangat proporsional, adil, dan manusiawi. Warga-negara, tidaklah berhadap-hadapan dengan Pemerintah, melainkan terjalin sebagai kesatuan, dan pada keduanya saling mengokohkan.
Penyebutan “laki-laki maupun wanita”, pada Pasal 9 ayat (2), secara implisit mengakui hakikat penciptaan manusia dan jenis kelaminnya. Perbedaan jenis kelamin itu bersifat kodrati. Hanya ada dua jenis manusia, yakni laki-laki (pria) dan wanita (perempuan). Kalaupun dijumpai ada waria (setengah laki-laki dan setengah wanita), itu suatu perkecualian.
Perbedaan jenis kelamin itu bersifat fisik, biologis, yang berkonsekuensi terhadap sistem reproduksi, seperti: organ kelamin (penis, testis dengan vagina, rahim dan payudara), hormon yang dominan dalam tubuh (estrogen dan testosteron), kemampuan untuk memproduksi sperma atau ovarium, kemampuan untuk melahirkan dan menyusui.
Walaupun Pasal 9 ayat (2) tidak menggunakan istilah gender, namun pada ranah sosial-budaya, istilah gender amat populer. Konstruksi gender dimunculkan oleh aliran feminisme sebagai upaya untuk menjelaskan bahwa laki-laki dan wanita itu setara. Oleh sebab itu, pada keduanya walaupun masing-masing punya peran berbeda, namun tidak boleh ada diskriminasi dan ketidakadilan.