Kontroversi Tunjangan Wartawan Bersertifikat

photo author
- Minggu, 3 Juli 2022 | 11:30 WIB
Hendry Ch Bangun (Dok pribadi)
Hendry Ch Bangun (Dok pribadi)


Catatan Hendry Ch Bangun

SOAL tunjangan negara bagi wartawan yang memiliki sertifikat kompetensi muncul
lagi ketika ada berita di sebuah media yang memberitakannya sehabis
pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI Sumsel di Palembang, 29 Juni
2022 lalu. Lalu timbul pro kontra sampai PWI Pusat mengeluarkan rilis yang
intinya menolak usulan terkait tunjangan bagi wartawan.


Pembicaraan soal tunjangan ini sempat terlontar dalam diskusi yang diadakan
Bappenas tahun 2021 lalu, dalam konteks tanggungjawab negara untuk
meningkatkan kualitas pers di Tanah Air sebagaimana disampaikan oleh Direktur
Politik dan Komunikasi, Wariki Sutikno. Tetapi seketika hadirin zoom, umumnya
wartawan atau pengurus organisasi wartawan, terbelah menjadi dua kubu.


Yang satu menolak, karena itu dianggap sebagai intervensi pemerintah yang akan
mengganggu independensi wartawan. Tunjangan dianggap sebagai suap sehingga
wartawan akan kehilangan daya kritis, kehilangan ketajaman kontrol atas
penyelenggaraan negara. Wartawan akan dininabobokkan dan gampang disetir
oleh pemerintah dan akan mudah diatur sesuai kehendak penguasa.

Baca Juga: Indonesia dan Vietnam Imbang Tanpa Gol, Thailand Kalahkan Filipina 1-0 di Piala AFF U-19


Yang lain mengatakan, idenya menarik karena itu artinya negara memperhatikan
kualitas wartawan sebagai pihak yang mengisi wacana dan ruang publik, sehingga
kalau wartawannya berkualitas karya jurnalistiknya juga bermutu, sesuai kode
etik jurnalistik. Karena yang memberi adalah negara itu bukan suap, itu adalah
wujud dari tanggungjawab peningkatan kompetensi semua profesi bagi seluruh
anak bangsa.


Ide dari Wariki Sutikno itu sebenarnya bermula dari adanya pembiayaan negara
kepada partai politik yang sudah berlangsung lama. Biaya politik itu diberikan
dengan tujuan agar keuangan parpol bersifat mandiri; tidak mencari uang dari
sumber haram ataupun dari orang-orang yang memiliki kepentingan dan
memanfaatkan parpol sebagai alat. Walaupun mungkin tidak cukup tetapi biaya
itu mampu memutar roda organisasi parpol seperti penyelenggaraan kantor di
pusat dan daerah, menjalankan program kerja dsb.

Jumlah pendapatan setiap parpol berbeda, sesuai dengan prestasinya di
pemilihan umum, yang antara lain diketahui dengan jumlah wakil parpol di
parlemen pusat dan daerah. Artinya makin berprestasi, biaya yang diterima akan
semakin besar, sehingga kompetisi berlangsung terus dalam kontestasi yang
sehat.

Baca Juga: Indonesia Gagal Loloskan Tunggal Putra ke Final Malaysia Open 2022 Setelah Jonatan Menyerah pada Axelsen


Dari sudut pandang ini, soal independensi menarik didiskusikan. Apakah Partai
Keadilan Sosial (PKS) dan Partai Demokrat yang menjadi oposisi di parlemen pusat
saat ini, kehilangan daya kritis dan ketajaman kontrol atas pemerintah hanya
karena mendapat “tunjangan” dari negara? Jelas tidak. Apakah Partai Solidaritas
Indonesia (PSI), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mendapat
jatah dari APBD DKI Jakarta kehilangan daya kritis terhadap Gubernur Anies
Baswedan? Ya sama sekali tidak. Kritik jalan terus.


Sama sekali tidak ada pengaruhnya. Sebab mereka tahu bahwa anggaran yang
mereka dapat berasal dari pendapatan negara, seperti pajak-pajak ataupun
sumber lain, yang di dalamnya juga mereka berpartisipasi melalui gagasan,
pemikiran, atau kritik yang menyempurnakan berbagai keputusan pemerintah.


Saya kira bantuan negara bagi partai politik ini bisa disejajarkan dengan ide
tunjangan bagi wartawan bersertifikat, meskipun itu masih jauh panggang dari api
karena ada banyak langkah yang harus dilakukan dan belum tentu pula pihak dan
aktor penentu memiliki sikap sama.

                                             ***
Saat menjadi penguji di sebuah uji kompetensi wartawan, kepada saya sering
ditanyakan soal ini. Mereka bilang, buat apa sertifikat kalau tidak ada manfaatnya.
Saya jelaskan banyak manfaatnya, seperti posisi di depan hukum akan lebih pasti,
dalam meliput akan mendapat kemudahan, dan menjadi penentu kedudukan
struktural di ruang redaksi dll., tetapi itu dianggap tidak cukup. Harus ada nilai
tambah yang jelas, kata mereka.

Baca Juga: Lewat Drama Adu Penalti Arema FC ke Singkirkan Barito Putera untuk ke Semifinal Piala Presiden 2022

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB
X