Macan Ompong, Oligarki, dan Minyak Goreng

photo author
- Jumat, 11 Februari 2022 | 09:30 WIB
Prof Dr Sudjito SH MSi (Dok Pribadi)
Prof Dr Sudjito SH MSi (Dok Pribadi)


Oleh: Sudjito Atmorejo*

AWAL tahun 2022 merupakan tahun kelabu rumah tangga Indonesia. Betapa tidak?!. Harga-harga sembako naik tajam. Tak terkendali. Satu di antaranya harga minyak goreng. Mana mungkin, tempe, tahu, ikan, daging, dan semacamnya direbus terus-menerus.


Minyak goreng termasuk komoditas berelastisitas tinggi. Artinya, minyak goreng sudah merupakan kebutuhan vital, meski harga mahal, setinggi apapun harganya, mesti dibeli.
Jeritan emak-emak semakin gaduh dan melengking, ketika barang yang dicari, ternyata langka di pasar, toko, dan retail mall. Mengapa hal ini terjadi, apa akar masalahnya, sehingga kelamnya kehidupan rakyat berlangsung berulang-ulang?


Harga minyak goreng mulai merangkak naik, sejak akhir September 2021. Bertengger di posisi dua kali lipat sejak November 2021. Praktis sudah berbulan-bulan masyarakat menanggung beban harga yang begitu mahal. Hingga artikel ini ditulis (9/2/2022), persoalan mahalnya harga minyak goreng belum teratasi.

Baca Juga: Paguyuban PKL Sukoharjo Minta Masalah Minyak Goreng Segera Diatasi Karena Memberatkan Pedagang Kecil


Awalnya, terkesan, pemerintah seolah kaget atas persoalan ini. Segeralah, dikeluarkan berbagai kebijakan. Dimulai dari kebijakan satu harga. Caranya, dengan pemberian subsidi melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Aturan itu tertuang dalam Permendag Nomor 6 Tahun 2022. Perincian harga adalah: minyak goreng curah Rp 11.500 per liter; minyak goreng kemasan Rp 13.500 per liter; dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter. Kebijakan berlaku mulai Rabu 19/1/2022.


Ternyata, kebijakan itu mendorong panic buying. Mengapa? Karena, di satu sisi, di beberapa tempat, minyak goreng langka. Di sisi lain, terjadi pembelian berlebihan oleh masyarakat. Kenyataannya, hingga sepekan kemudian, harga minyak goreng di pasar ritel, masih melebihi harga Rp14 ribu per liter.


Pemerintahpun pun lihai, tak kurang akal argumentasi. Persoalan mulai dialihkan ke kambing hitam, yakni pasar internasional. Demi ketercukupan dalam negeri, maka dikeluarkan kebijakan larangan terbatas ekspor minyak sawit dan turunannya. Per 1 Februari 2022, kebijakan harga eceran tertinggi dan subsidi tidak berlaku lagi.Ternyata, kebijakan pemerintah inipun, memble, alias tidak efektif. Harga minyak goreng masih mahal.


Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendapatkan indikasi bahwa akar masalahnya terletak permainan produsen. Mereka diduga melakukan kartel. Disarankan, agar pemerintah proaktif melakukan pengawasan, penelusuran, hingga penjatuhan sanksi, kepada produsen yang sengaja menahan harga, dan melakukan perbuatan culas tersebut.

Baca Juga: Komisi 3 DPR RI Juga Kunjungi Warga Pro Tambang di Desa Wadas, Ini yang Mereka Bahas


Sementara itu, Ombudsman RI-ORI, (Selasa (8/2/2022) menemukan tiga sebab atas persoalan ini, yakni: (1) Ada penimbunan. Bila Satgas pangan bereaksi cepat dan tegas, sebenarnya upaya-upaya penimbunan bisa diminimalisasi; (2) Terjadi pengalihan penjualan minyak goreng dari pasar modern ke pasar tradisional. Motivasi pengalihan penjualan, agar harga lebih mahal, bisa menjadi Rp 15.000 sampai Rp 16.000; (3) Ketidakjelasan informasi, hingga berlanjut menjadi panic buying.


Dicermati seksama keseluruhan, akar masalahnya karena lemahnya kendali pemerintah. Ada ketidakmampuan atau mungkin keengganan, untuk all out menyeret oknum produsen dan pedagang yang bermain-main. Maaf…barangkali mirip macan ompong. Ungkapan ini sepadan dengan pandangan bahwa pemerintah sebagai suatu organisasi/lembaga, tampak kuat, ternyata tidak bertenaga, kedodoran mengatasi permasalahan minyak goreng.


Dirunut lebih dalam lagi, suatu pemerintahan menjadi lemah, tak berdaya, tentu ada sebab-musababnya. Dalam perspektif bangsa beragama, Islam telah menunjukkan bahwa faktor-faktor dimaksud berakar pada penolakan terhadap ketauhidan terhadap Allah swt, penolakan terhadap keteladanan Rasulullah saw, dan pengingkaran terhadap agama yang lurus.


Kebijakan dan regulasi tentang produksi dan perdagangan minyak goreng, akan bermanfaat, efektif, dan berhasil guna, bila sejak perumusan, pelaksanaan, dan penegakannya, berkiblat pada tuntunan agama. Jangan ada pilih kasih, penganakemasan, ketakberdayaan, atau berkiblat terhadap oligarki. Dimaksud oligarki adalah beberapa orang dari golongan atau kelompok tertentu yang dominan menyetir jalannya pemerintahan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB
X