opini

Kasus Obat Sirup Bermasalah, Jangan Dipandang Remeh

Kamis, 27 Oktober 2022 | 17:30 WIB
Prof Dr Sudjito SH MSi (Foto:Dok Merapi)

 

Oleh: Sudjito Atmoredjo *)

Tragis. Mengerikan. Dibawa ke RS, mau berobat agar sakitnya tersembuhkan. Alih-alih sembuh, ternyata justru semakin akut, bahkan meningggal. Tak ubahnya sudah jatuh tertimpa tangga. Inilah tragedi kesehatan yang menimpa masyarakat, khususnya anak-anak gagal ginjal akut, setelah minum obat sirup bermasalah.

Beredar dan viral di media sosial, ada 102 obat sirup bermasalah. Jumlah itu, bisa bertambah atau berkurang, tergantung hasil pemeriksaan oleh BPOM. Oleh Kemenkes obat-obat itu dilarang diperjual-belikan di apotek. Dilarang dikonsumsi. Dilarang diresepkan dokter. Bahkan, obat-obat itu ditarik dari peredaran.

Masyarakat perlu tahu daftar obat terlarang itu selengkapnya. Dipersilahkan mengunduh informasinya di media resmi yang dikeluarkan Pemerintah, atau sumber lain. Obat-obat itu, cukup familiar. Misal: Amoksisilin, Baby cough, OBH Ane Konidin, Paracetamol Syrup, dan lain-lain. Obat-obat itu diiklankan di TV, mudah didapat di apotek, ataupun sering diresepkan dokter.

Baca Juga: DPP Gunungkidul pastikan stok pupuk bersubsidi aman hingga Desember 2022

Dipertanyakan, mengapa obat-obat sirup bermasalah itu diproduksi dan diizinkan beredar? Pada dimensi hukum, telah diatur pada PP.72/1998 bahwa sediaan farmasi (termasuk obat sirup) yang diproduksi dan/atau diedarkan, harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan, sesuai persyaratan dalam buku Farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri. Sediaan farmasi hanya dapat diproduksi oleh badan usaha yang telah memiliki izin usaha industri. Cara-cara produksi yang baik ditetapkan oleh Menteri (Pasal 2-5).

Bila obat-obat itu berasal dari impor, maka pemasukannya ke dalam wilayah Indonesia hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang telah memiliki izin sebagai importir. Diwajibkan pula, obat-obat itu dilengkapi dokumen yang menyatakan telah lulus pengujian mutu, keamanan, dan kemanfaatan, dari negara asal (Pasal 17-23).

Dari pasal-pasal di atas, secara yuridis-normatif, telah cukup adanya jaminan perlindungan terhadap masyarakat dari kemungkinan terimbas obat-obat sirup bermasalah. Tetapi nyatanya, empiris-sosiologis, sedemikian banyak obat-obat sirup bermasalah diproduksi dan beredar. Di sini, MenKes, beserta jajarannya, mesti bertanggungjawab secara hukum, moral-etik, administratif, maupun kemanusiaan. Kasus ini, layak dikategorikan sebagai malapraktik medis, khususnya di bidang kefarmasian.

Baca Juga: Seleksi Panwascam selesai, 54 orang anggota diterjunkan di 18 kapanewon di Kabupaten Gunungkidul

Konsekuensi dari malapraktik medis kefarmasian ini, antara lain: Pertama, mesti ada pertanggujawaban hukum dari aspek keperdataan. Orang-orang yang dirugikan karena obat sirup bermasalah, lebih-lebih hingga anaknya meninggal, mempunyai hak mendapatkan ganti rugi (Pasal 43). Ganti rugi tersebut mencakup kerugian material maupun non material. Untuk mendapatkan hak-hak keperdataan ini, keluarga pasien dipersilahkan mengajukan gugatan perdata terhadap: produsen, apotek, RS, dokter, tenaga medis, atau siapapun yang terlibat,  ke pengadilan. Amat diharapkan, masyarakat luas, khususnya LBH Kesehatan, ataupun aktivis-aktivis sosial, memiliki tanggungjawab kemanusiaan untuk membantunya (Pasal 49).

Kedua, pada ranah hukum administratif, Menkes perlu menindak tegas terhadap siapapun yang terlibat dalam produksi, peredaran, hingga pemberian obat-obat sirup bermasalah. Tindakan administratif dimaksud berupa: larangan produksi, larangan pengedaran, perintah pemusnahan, pencabutan izin usaha, pencabutan izin edar. Terhadap, lembaga dan tenaga kesehatan yang terlibat, layak dilarang (diberhentikan) dari aktivitasnya (Pasal 72-73). Kemenkes, mestinya sesegera mungkin melakukan sidang etik terhadap jajarannya yang diduga terlibat kasus ini. Sebagai tanggungjawab sosial, proses persidangan dan penjatuhan sanksi administrasi, perlu diumumkan ke publik.

Ketiga, pada ranah hukum pidana, aparat kepolisian perlu segera melakukan penyelidikan dan penyidikan, agar dapat ditetapkan tersangkanya. Telah ada indikasi, dua pabrik obat, sebagai produsen obat sirup bermasalah itu. Perlu diinvestigasi pabrik-pabrik obat lainnya. Berikutnya, para tersangka dituntut oleh Kejaksaan, agar dikenakan sanksi pidana. Bila di persidangan dakwaannya terbukti, maka tersangka dijatuhi sanksi pidana. Barang siapa dengan sengaja memproduksi dan/atau mengedarkan obat bermasalah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) (Pasal 74).

Baca Juga: Hasil riset: Jenjang karir jadi aspek utama Gen Z dalam memilih tempat kerja

Halaman:

Tags

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB