opini

Awas, Kejahatan 'Nominee' di Bidang Pertanahan

Minggu, 11 September 2022 | 08:30 WIB
Prof Dr Sudjito SH MSi (Dok pribadi)


Langkah selanjutnya adalah pembuatan akta jual-beli tanah oleh PPAT. Mendasarkan diri pada fakta (de facto) bahwa jual-beli dilakukan oleh WNI kepada WNI, maka akta jual-beli tanah pun dapat dibuat. Pada hal secara hukum (de jure), pembelinya WNA (yang berkedok WNI). Inilah bentuk penyelundupan hukum.


Berikutnya, akta jual-beli tanah, dibawa ke Kantor Pertanahan untuk didaftarkan. Bila pegawai Kantor Pertanahan hanya melakukan pengecekan secara formal (berdasarkan dokumen), maka tidak ditemukan adanya pelanggaran hukum. Pendaftaran tanah pun dilakukan, hingga akhirnya terbit sertipikat atas nama WNI sebagai pembeli. Nama WNA (pembeli sebenarnya), tertutupi, terselamatkan, teramankan oleh WNI yang namanya dipinjam.

Baca Juga: Pedagang terbantu vaksinasi di pasar, sempatkan suntik booster di sela jualan


Pada praktik nominee tergambar di atas, layak dipertanyakan, apakah akta Notaris tentang nominee, dan akta jual-beli tanah yang dibuat PPAT, sah menurut hukum? Jawabnya: Tidak sah. Argumentasinya sebagai berikut:


Pertama, tidak ada etikat baik. Diatur pada Pasal 16 ayat (1) huruf a UU No. 2/2014 jo. UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa: “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”. Rekayasa ataupun kong-kalingkong itu kejahatan, bukan etikat baik. Etikat baiknya, justru digantikan dengan etikat jahat/buruk.


Kedua, perjanjian proforma (dibuat-buat), walaupun dituangkan di dalam akta Notaris maupun akta PPAT, sebenarnya, merupakan perjanjian palsu. Akibatnya, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Diatur Pasal 1335 KUHPerdata: “suatu perjanjian, dengan sebab atau isi yang palsu, adalah tidak mengikat secara hukum”.


Ketiga, tidaklah sah, perjanjian berisi pelimpahan wewenang seluas-luasnya, dari WNI kepada WNA, untuk bertindak layaknya seorang pemilik sebenarnya, atas bidang tanah yang dibeli melalui rekayasa. Betapapun ada azas kebebasan berkontrak, namun kebebasan itu dibatasi. Tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan, dan bertentangan ketertiban umum (Pasal 1320 ayat (4) jo. Pasal 1337 KUHPerdata).

Baca Juga: Kredibilitas Polri hancur sejak kasus Ferdy Sambo, pensiunan jenderal ini bingung pelakunya orang-orang cerdas


Keempat, satu set/paket akta Notaris, akta PPAT, perjanjian nominee, dan perjanjian-perjanjian lain pendukungnya, seluruhnya merupakan produk kejahatan. Keseluruhannya, bertentangan dengan UUPA, maupun UU lain. Oleh karenanya, tidak sah.


Patut diingatkan, sanksi hukum kejahatan nominee adalah batalnya jual-beli tanah karena hukum, dan tanahnya jatuh kepada Negara, dan hak-hak pihak lain yang membebaninya, tetap berlangsung, serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik, tidak dapat dituntut kembali (Pasal 26 ayat 2 UUPA). Menjadi tanggungjawab Kementerian ATR/BPN untuk menegakkan ketentuan hukum Pasal 26 ayat (2) UUPA dengan sungguh-sungguh, agar kejahatan nominee dapat diberantas. Wallahu’alam.

*)Prof Sudjito SH MSi Guru Besar Ilmu Hukum UGM

Halaman:

Tags

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB