Oleh: Sudjito Atmoredjo*
JAUH sebelum kejahatan mafia pertanahan muncul, telah ada kejahatan di bidang pertanahan lain, yaitu nominee (pinjam nama). Nominee adalah peminjaman nama oleh WNA terhadap WNI, untuk disalahgunakan dalam rangka pembelian hak milik atas tanah di Indonesia.
Kejahatan ini tampaknya semakin marak. Di wilayah-wilayah potensial investasi, di situ banyak WNA berupaya memiliki tanah-tanah untuk lahan usaha. Di Bali, Batam, Sulawesi, Kalimantan, bahkan di DIY, mudah dijumpai kasus-kasus nominee. Seperti apa gambarannya?
Ketika seorang WNA kesengsem memiliki tanah di Indonesia, maka dicarilah tanah yang cocok untuk dibeli. Soal harga, tak bermasalah. Mengapa? Karena, WNA, umumnya kaya (orang berduit). Dihadapkan pada rendahnya kurs rupiah terhadap dollar, maka harga tanah di Indonesia, tergolong murah bagi mereka.
Baca Juga: Lomba Seni Suara Burung Perkutut Nasional Piala Raja HB Cup XXXI digelar Minggu 18 September 2022
Melalui perantaraan calo, dicarilah tanah yang dapat dibeli. Suatu ketika, dijumpailah seorang WNI, mau menjual tanahnya. Setelah negosiasi, dicapailah kesepakatan. WNA (calon pembeli), WNI (calon penjual), dan calo datang ke PPAT, agar dibuatkan akta jual-beli tanah hak milik.
PPAT memberitahukan bahwa jual-beli tanah hak milik ke WNA dilarang. Mengapa? Ada ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan-perbuatan lain, yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung, memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing, atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum, dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya, tetap berlangsung, serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik, tidak dapat dituntut kembali”.
Baca Juga: Analisa Widyaningrum beber 7 langkah meraih cita-cita dalam kajian yang digelar IPM SMA Muhi Jogja
Substansi pasal itu, merupakan konsekuensi dan penjabaran azas nasionalisme, dan azas larangan pengasingan tanah (gronds verponding verbood), dalam UUPA. Subjek hak milik atas tanah hanya WNI, dan beberapa badan hukum yang ditetapkan Pemerintah (Pasal 21). Kepada WNA hanya dimungkinkan menjadi subjek Hak Pakai saja (Pasal 42).
Dihadapkan pada kendala hukum di atas, didesainlah rekayasa untuk menyiasatinya. Dijalinlah kong-kalingkong antar semua pihak terkait. Semua pihak dimaksud adalah WNI (calon penjual), WNA (calon pembeli), calo, oknum Notaris, oknum PPAT, hingga oknum pegawai-pegawai Kantor Pertanahan. Bahkan, Pak RT, Pak RW, Lurah, dan Camat pun sering dilibatkan. Mereka, bekerja bersama-sama, dengan imbalan honor tertentu. Targetnya, jual-beli tanah hak milik dapat berlangsung. WNA, bertanggungjawab atas segala pembiayaan yang dibutuhkan.
Langkah awalnya, dilakukanlah perjanjian nominee. Di situ, nama WNI dipinjam oleh WNA. Formalitas ditonjolkan daripada substansi. Formalitas dimaksud adalah penyebutan bahwa pembeli maupun penjual, keduanya adalah WNI. WNI-WNI itu difungsikan sebagai “pengaman” bagi WNA (calon pembeli sebenarnya). Dengan rekayasa demikian, maka jual-beli dapat berlangsung, seolah-olah legal, karena persyaratan formal terpenuhi.
Baca Juga: Relawan Anies P 24 DPW DIY deklarasi dan kukuhkan kepengurusan DPD Kabupaten dan Kota
Fungsi “pengamanan” jual-beli tanah hak milik, dituangkan dalam akta Notaris. Isinya, perjanjian bahwa seseorang WNI bersedia dipinjam namanya oleh WNA. Kepada WNI diberikan imbalan, berupa uang, ataupun diperisteri melalui kawin kontrak, atau bentuk-bentuk lain yang disepakati. Di dalamnya dicantumkan klausula, bahwa WNA menjadi pemilik sebenarnya atas tanah yang dibelinya. Sementara itu, kedudukan dan peran WNI, hanyalah formalitas belaka. WNI itu sama sekali tidak berwenang berbuat apapun terhadap tanah milik dimaksud.