Sebagai contoh, apabila dosa atau maksiat itu dengan sebab ghîbah (menggunjing) terhadap sesama, maka ia wajib meminta maaf kepada orang yang digunjingnya itu, bila yang dighibah tahu, atau ia khawatir orang yang digunjing akan tahu.
Keempat, bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang.
Karena ini merupakan buah dari taubatnya dan sebagai bukti kejujuran pelakunya.
Jika ia mengatakan telah bertaubat, namun ia masih bertekad untuk melakukan maksiat itu lagi di suatu hari nanti, maka taubatnya saat itu belum benar.
Karena taubatnya hanya sementara (taubat sambal), si pelaku maksiat ini hanya sedang mencari momen yang tepat saja.
Taubatnya ini tidak menunjukkan bahwa dia membenci perbuatan maksiat itu lalu menjauh darinya dan selanjutnya melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla.
Kelima, taubat itu dilakukan bukan pada saat masa penerimaan taubat telah habis/berlalu.
Jika taubat itu dilakukan setelah habis waktu diterimanya taubat, maka taubatnya tidak akan diterima.
Sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allâh menerima taubat seorang hamba selama nyawanya (ruhnya) belum sampai tenggorokan. (HR. Ahmad, at-Tirmidzi).
Situasi yang penuh ujian dan cobaan sebagaimana saat sekarang ini berupa ancaman banjir, gunung meletus dan sebagainya,
apabila setiap orang melakukan taubat nasuha pada saat penuh ujian ini, Allâh akan menghapus dosa-dosa yang telah diperbuatnya, sekalipun jumlahnya sangat banyak.
Baca Juga: Resep hidup bahagia di tengah badai kehidupan, di antaranya dengan husnudhan kepada Allah SWT
Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa merahmati kita untuk dapat mengisi sisa umur ini dengan taubat nasuha kepada Sang Maha Penerima Taubat, sehingga dapat mengisi sisa umur ini dengan amal