opini

Keadaban Bernegara Hukum

Jumat, 1 Juli 2022 | 10:00 WIB
Prof Dr Sudjito SH MSi (Dok pribadi)


Betapapun Alvin Tofler (dalam Powershift. 1990), menyatakan bahwa relasi hukum, politik, dan kekuasaan itu digambarkan sebagai pergeseran dari penggunaan kekuasaan/kekuatan menjadi pendayagunaan otak/rasio/akal sehat, namun secara empiris, kekuasaan/kekuatan liar, acapkali muncul kembali dengan baju hukum, ketika akal sehat diganti dengan akal busuk. Di situlah, hukum sudah menjadi asesori, pembungkus, alat kekuasaan.


Pergeseran situasi kenegaraan di negeri ini, tampaknya membenarkan tesis Tofler itu. Artinya, secara halus dan terselubung, makna sila ke-2 Pancasila, telah berubah total, dari manusia beradab menjadi manusia biadab.

Baca Juga: Vladimir Putin Sampaikan Perkembangan Terkait Ukraina kepada Jokowi


Walaupun legalitas politik, bisnis, dan kekuasaan, memiliki sandaran hukum (perundang-undangan), tetapi perilaku para aktor-aktornya, tetap saja tampil sebagai kekuatan. Kondisi demikian sengaja direkayasa, agar hukum dapat tampil seolah-olah berisi kekuasaan yang semakin beradab. Ketelanjangannya sebagai perilaku biadab, diupayakan ditutupi, melalui rumusan pasal, ayat, penafsiran, dan deskresi ataupun dalih kebebasan berekspresi di alam demokrasi.


Satjipto Rahardjo (1994) mengekspresikan keprihatinan atas situasi terurai di atas dengan pernyataan: “Pembuatan undang-undang, pengadilan, polisi, aparat birokrasi, penjara adalah penjabaran kekuasaan (negara) ke dalam orde hukum. Manusia warga negara setiap saat berada pada ujung “penodongan” kekuasan seperti itu. Orang harus mematuhi atau menerima resiko berhadapan dengan polisi”.


Sebagaimana berkembang di Amerika Serikat, di negeri inipun telah sering muncul hired guns (penembak gelap). Oknum-konum dari corporate lawyers, sering bekerja sama dengan oknum aparat, maupun preman, untuk pemenangan perkara di dalam maupun di luar pengadilan. Penahanan, penyanderaan (gijzeling), atau somasi, sering digunakan sebagai prosedur formal. Keampuhan kolaborasi, kong-kalingkong oknum-oknum tersebut sangat gegirisi.

Baca Juga: Usung Misi Perdamaian, Presiden Jokowi Siap Jembatani Komunikasi Rusia dan Ukraina


Kembali pada permasalahan peradaban, bahwa kekuasaan mestinya netral, taat pada rambu-rambu hukum. Semua politikus, penguasa, dan penegak hukum, mestinya amanah atas jabatan yang dipercayakan kepadanya. Jangan sampai ada praktik aji mumpung, yakni menggunakan kekuasaan untuk keserakahan.


Lord Acton menyatakan bahwa “kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak juga akan melakukan korupsi secara besar-besaran”. Bagi manusia beradab, pernyataan Lord Acton itu wajib ditepis, dilawan, diberantas. Perlawanan terhadap kekuasaan korup perlu terus ditingkatkan melalui institusionalisasi civil society (masyarakat berperadaban).


Dalam pada itu, kebiadaban sebagai sisi lain dari potensi dan perilaku manusia, sesungguhnya secara otentik dapat dimarginalkan, bila hukum, politik, dan kekuasaan dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan berdasarkan nilai-nilai moralitas-religius. Dengan kata lain, watak sekuler, liberal, dan serakah, wajib ditaklukkan dengan perilaku religius, amanah, dan visioner.

Baca Juga: Meneladani Pendidikan Keluarga Nabi Ibrahim AS


Dalam rangka peningkatan peradaban, sekaligus pemarginalan kebiadaban, kiranya negeri ini perlu mendayagunakan unsur: moralitas-religius. Mengarusutamaan moralitas-religius dalam semua urusan, hendaknya menjadi program utama membangun sumberdaya manusia seutuhnya dan seluruhnya.


Dalam konteks negara hukum Pancasila, pengarusutamaan moralitas-religius itu, dikonkritkan dalam bentuk kehidupan bersama yang sarat dengan keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan. Segenap komponen bangsa wajib terus memupuk budaya musyawarah, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Lintasan sejarah kehidupan manusia telah memberikan bukti-bukti empiris bahwa melalui pengarusutamaan moralitas-religius, suatu bangsa dapat meraih kehidupan gemah-ripah loh jinawi, tata titi tentrem, kerta raharja, dalam rahmat Allah SWT.Walllahu’alam.

*)Prof Dr Sudjito SH MSi, Guru Besar Ilmu Hukum UGM.

Halaman:

Tags

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB