SEORANG mahasiswa di Jogja, JA (21), warga Jogja mencabuli siswi SMP, M (12) warga Jogja. Antara pelaku dan korban sudah saling mengenal karena tempat tinggalnya berdekatan.
Bahkan, korban sering diantar jemput oleh JA. Orangtua korban tidak pernah curiga dengan kelakuan JA.
Hingga suatu saat, ketika M berangkat belajar di rumah pembelajaran di kawasan Tegalrejo, ternyata tak kunjung pulang sehingga orangtua panik.
Baca Juga: Pengeroyokan terhadap Ade Armando Disayangkan, Ini Pernyataan Resmi UI
Setelah ditanyakan pada pengajarnya, ternyata M tak datang ke tempat itu. Orangtua kemudian mencarinya di rumah JA dan ternyata benar M berada di tempat itu.
Betapa terkejutnya orangtua ketika M menceritakan dirinya telah dicabuli JA dengan iming-iming janji manis. M menurut begitu saja keinginan JA. Atas perbuatannya itu orangtua pun melaporkan JA ke polisi dan yang bersangkutan langsung ditangkap.
Ketika diinterogasi, JA malah mengaku bahwa yang mengajak begituan adalah M atau korban. Bahkan ia merasa tidak bersalah telah mencabuli korban.
Baca Juga: Alhamdulillah... Lebaran Tahun Ini Salat Id Sudah Bisa di Sini
Tentu ini menjadi aneh, sebab, yang namanya pencabulan terhadap anak tidaklah peduli apakah korban dipaksa atau sukarela, pelaku tetap dijerat Pasal 81 UU Perlindungan Anak dengan ancaman pidana paling lama 15 tahun penjara.
Oknum mahasiswa ini agaknya tidak paham bahwa perbuatannya diancam pidana, tanpa paksaan sekalipun. Ini tak lain karena korbannya anak-anak, yakni masih usia di bawah 18 tahun.
Berbeda dengan orang dewasa, tak selalu dapat diproses hukum bila hubungan tersebut didasarkan suka sama suka, asalkan salah satu atau keduanya belum terikat perkawinan dengan orang lain.
Hukum memang ingin memberi perlindungan maksimal kepada anak-anak. Hanya saja, dalam praktiknya tidak gampang. Sebab, hukum positif yang berlaku di Indonesia masih memfokuskan pada aspek penghukuman kepada pelaku, bukan pada pemulihan atau rehabilitasi korban.
Meski pelaku sudah dihukum berat, belum tentu kondisi korban terpulihkan.
Sikap JA yang mengatakan bahwa hubungan dengan M didasarkan atas suka sama suka, bahkan dirinyalah yang diajak begituan oleh korban, tentu sangat konyol, dan sama sekalit tidak mempengaruhi ancaman pidananya.