HARI INI, Kamis 18 Desember 2025, kami—Mbah Kung, Mbah Uti, Budhe Deby, dan Aira—berdiri menahan haru, melepas keberangkatan cucu ganteng kami, El (Elias Saka Baskara), yang baru berusia enam bulan. El berangkat bersama ayahandanya, Ahan (Madhan Nur Agista), dan ibundanya, Jojo (Jovanska Arvianda), menuju Stavanger, Norwegia—tempat Ahan menunaikan amanah profesinya di perusahaan internasional bidang minyak dan gas.
Ada perasaan yang sulit diterjemahkan oleh kata-kata ketika seorang kakek berpisah dengan cucunya. Bukan sekadar jarak geografis, melainkan jarak rindu. Padahal selama ini pun El tinggal di Bandung, sementara Mbah Kung, Mbah Uti, dan Aira di Yogyakarta. Namun perpisahan kali ini terasa berbeda. Mungkin karena kami tahu, jarak akan membentang lebih jauh, waktu akan terasa lebih panjang, dan doa akan menjadi jembatan paling setia.
Baca Juga: Aira Tasmi' Juz 29: Cahaya Kecil yang Menuntun dengan Qalbu dan Keteladanan
Karena itulah keluarga Jogja datang khusus ke Bandung. Bukan untuk meratap, melainkan untuk menguatkan. Melepas dengan ikhlas, sambil menitipkan doa-doa yang tak pernah putus. Kami percaya, setiap langkah hidup adalah takdir yang dirancang Allah dengan penuh hikmah. Dan setiap anak yang lahir, termasuk El, telah membawa peta jalannya sendiri.
El, cucu kecil kami, kelak engkau akan tumbuh di pergaulan dunia. Engkau akan mengenal langit Skandinavia yang dingin dan panjang, sekaligus matahari tropis Indonesia yang hangat dan ramah. Engkau akan mendengar bahasa asing sejak dini, bergaul dengan anak-anak dari berbagai bangsa, budaya, dan latar belakang. Itulah karunia zaman: kesempatan menjadi manusia global sejak belia.
Baca Juga: Silaturahmi Dua Trah Brontowiyanan dan Imam Subawehan: Mengambil Pelajaran Nilai Hidup dari Norwegia
Pendidikan dan pengalaman internasional—termasuk sistem pembelajaran yang terbuka, kritis, dan berbasis nilai—akan membentuk cara berpikirmu yang luas dan adaptif. Dunia ke depan semakin kompleks, penuh ketidakpastian, menuntut generasi yang lentur, kolaboratif, dan berani berpikir lintas batas. Dalam hal ini, exposure internasional adalah bekal penting: melatih empati global, toleransi, disiplin, dan kejujuran sistemik.
Namun, Mbah Kung dan Mbah Uti punya satu titipan yang tak boleh hilang: jangan sampai engkau tercerabut dari akar. Akar itu bernama Indonesia. Akar itu bernama budaya, adab, dan nilai. Akar itu juga bernama iman.
Cucu El, kelak jika engkau fasih berbahasa dunia, jangan lupa bahasa doa. Jika engkau terbiasa dengan teknologi canggih, jangan lupa sujud yang sederhana. Jika engkau mengenal banyak teori kehidupan, jangan lupa bahwa hidup ini pada akhirnya kembali kepada Sang Pencipta. Sholat, meski hanya dua rakaat dengan penuh kesadaran, jauh lebih bermakna daripada ribuan langkah tanpa arah.
Baca Juga: Membangun keluarga bahagia dalam perspektif Al-Qur’an
Kami, kakek-nenekmu, tidak menuntutmu menjadi siapa. Kami hanya berharap engkau menjadi manusia yang utuh: cerdas akalnya, lembut hatinya, lurus akhlaknya. Menjadi warga dunia yang berakar kuat di bumi tempat leluhurmu berpijak.
Pergilah, El. Terbanglah bersama ayah dan ibumu. Dunia menunggumu dengan segala tantangannya. Di sini, di tanah Jawa, di sudut-sudut doa yang senyap, Mbah Kung dan Mbah Uti akan selalu menyebut namamu—memohon agar Allah menjaga langkahmu, menuntun imanmu, dan kelak mengembalikanmu sebagai manusia yang membawa manfaat bagi banyak orang.
Selamat ber "tugas", cucu El yang ngganteng.
Rindu ini kami titipkan pada langit, dan harapan ini kami titipkan pada Tuhan.
Mbah Kung - Widodo Brontowiyono