opini

Hukum Sebagai Selimut Kejahatan

Selasa, 30 Mei 2023 | 13:50 WIB
Sudjito Atmoredjo (Dok.Merapi)


Oleh: Sudjito Atmoredjo*)

Kahlil Gibran, dalam puisi berjudul “Penyesalan”, bertutur tentang perilaku jahat seseorang. Katanya: “Suatu malam tak berbulan. Seseorang memasuki kebon tetangganya. Dicurilah buah melon terbesar. Kemudian dibawa pulang. Sesampai di rumah, dibukalah melon itu.

Ingin dinikmati kelezatannya. Tetapi, rasa pahit yang justru didapatkannya. Sejenak dia terdiam. Menggigil. Sadar. Perilaku jahat telah diperbuatnya. Bukan manisnya melon ia dapatkan. Melainkan rasa takut akan azab, masuk kerongga jiwanya. Dia menyesal”
Apa makna puisi ini dalam kehidupan kekinian?


Puisi adalah rangkaian kata-kata indah. Puisi, dibuat dan difungsikan sebagai media pengungkapan perasaan dan pemikiran seseorang, atas realitas yang dihadapinya. Melalui puisi, diharapkan terjalin interaksi dan komunikasi dengan pembacanya.

Baca Juga: Calon haji meninggal di Madinah bertambah, ini dialami calon haji asal Madiun Jawa Timur, ini profilnya.


Hemat saya, puisi di atas mampu menjakau kehidupan di negeri manapun. Tak terkecuali kehidupan di negeri ini. Secara tersirat, ada pesan moral yang ingin disampaikan. Pesan moral itu berupa kritik sekaligus solusi menuju idealitas kehidupan. Melalui olah rasa, diharapkan pembacanya mampu menangkap dan merefleksikan pesan moral tersebut, untuk perbaikan kualitas kehidupan. Puisi, tak ubahnya, nasihat orang tua bijak kepada anak-cucunya.
Apa pesan moral dari puisi di atas?


Pertama, perihal perilaku jahat. Tak ada norma kehidupan yang mengajarkan perilaku jahat. Walau tanpa diajarkan, tanpa doktrin, tanpa nasihat, ternyata setiap orang berpotensi, bahkan pernah berbuat jahat. Perjalanan umat manusia sepanjang masa, walaupun otentiknya diamanahkan untuk memelihara keharmonisan kehidupan, akan tetapi sarat dengan kejahatan. Dalam konteks negeri ini, kejahatan dimaksud berupa pelanggaran pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan hukum. Hukum dijadikan sebagai selimut kejahatan.


Padahal, ada dalil konstitusional bahwa negeri ini “berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan semata”. Kiranya, tidak terlalu sulit untuk menangkap pesan moral dari rangkaian kata-kata indah dalam konsititusi itu. Permasalahannya, ketiadaan kesanggupan sebagian komponen bangsa, untuk senantiasa konsisten mengamalkan pesan moral itu.


Direnungkan hingga hati nurani dan dipadukan dengan realitas empiris, perihal hubungan antara kejahatan, hukum, dan kekuasaan/kekuatan, ternyata ada kompleksitas permasalahan. Seolah benang kusut. Tidak mudah mengurainya. Keinginan untuk memintalnya agar menjadi kain halus, seakan jauh panggang dari api (Jawa: ngaya wara). Dalam kondisi carut-marut demikian, bangsa ini menjalani kehidupannya.

Baca Juga: UGM raih penghargaan terbanyak pada Anugerah Merdeka Belajar Tahun 2023, ini penghargaannya


Realitas empiris menunjukkan bahwa kekuasaan/kekuatan telah disalahgunakan sedemikian rupa, dalam berbagai urusan. Urusan: politik, hukum, keamanan, kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, budaya, agama, dan sebagainya. Dalam kompleksitas demikian, jangan lagi bermimpi tentang supremasi hukum. Realitasnya, hukum justru dijadikan sebagai selimut kejahatan.

Artinya, kejahatan sudah diniatkan dan dipraktikkan, akan tetapi tidak mudah dilihat dengan mata kepala. Kejahatan memiliki legalitas. Pelakunya tidak mudah dijerat hukum. Bahkan perilaku jahat itu seolah dibenarkan oleh hukum. Seterusnya, kejahatan menjadi perilaku terencana, laten, dan masif.


Oleh Kahlil Gibran, selimut hukum dipadankan gelapnya malam, tanpa bulan. Tak ada cahaya. Seolah tak seorangpun mampu melihat adanya kejahatan. Pada kondisi demikian, banyak pencuri gentayangan, menjarah harta-benda milik orang lain.


Kejahatan berselimut hukum, kini semakin bebas bergerak, ganas, dan serakah. Tega memangsa hak milik rakyat jelata. Hak kebendaan, hak berpendapat, hak memilih dan dipilih, bahkan hak menjalankan syariat agama, sering dicuri. Jadilah rakyat di negeri ini miskin harta, miskin kekuasaan, dan miskin iman.

Baca Juga: 25 lapak pemulung di Duren Sawit terbakar, seorang tewas, ini kondisi terkini


Alvin Toffler dalam bukunya Powershift (1990) mendeskripsikan maraknya hukum sebagai selimut kejahatan identik dengan kejahatan yang muncul dengan baju halus (mentereng) berupa kekuasaan/kekuatan. Dari sinilah, maka kekuasaan/kekuatan diburu dengan berbagai cara, termasuk melalui rekayasa hukum.

Halaman:

Tags

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB