Oleh: Sudjito Atmoredjo*
MARTABAT pekerja menjadi rendah, ketika tunjangan hari raya telah diberikan, tetapi pasca Idul Fitri, kantong kembali kempis. Kesalahan pada pembengkakan anggaran. Untuk bertahan hingga gajian berikutnya, adalah berutang. Realitas kehidupan itu disorot oleh Joice Tauris Santi dalam Opini “Cari Tambahan THR Setelah Lebaran (KOMPAS, 24/4/2023).
Kalau saling memaafkan telah mentradisi, dapatkah urusan utang-piutang terselesaikan melalui permafaan di saat hal bil halal, syawalan, atau sejenisnya? Apa makna permaafan dalam perspektif hukum dan kemanusiaan?
Permaafan berkaitan dengan kesalahan. Kesalahan berkonsekuensi pada dosa dan azab. Siapapun bersalah, akan terkategorikan sebagai pendosa. Azab (kenestapaan) pasti mengiringinya. Agar perilaku buruk, jahat, sesat, beserta konsekuensinya dapat dinetralkan, maka ada permaafan.
Dalam perspektif moralitas-religius, sebenarnya semua manusia terlahir dalam keadaan suci, tanpa dosa, tanpa noda, tanpa kesalahan. Inilah fitrah manusia. Kesalahan kemudian melekat padanya, karena ulahnya sendiri. Dalam penciptaan jiwa serta penyempurnaannya, Tuhan (Allah swt) mengilhamkan jalan kefasikan dan ketakwaannya. Beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya. Dan merugilah orang yang mengotorinya (QS. As-Syams 7-10).
Ada dua jenis kesalahan manusia, yakni: (1) salah dalam hubungan vertikal, karena ingkar terhadap perintah dan larangan Ilahi; dan (2) salah pada diri sendiri dan/atau dalam hubungan horizontal, terhadap sesama makhluk (manusia) lain.
Pada kesalahan tipe pertama, sesungguhnya Allah swt itu penerima tobat. Ingat, kisah Adam dan Hawa. Kesalahannya makan buah kuldi. Hal demikian dilakukan karena lalai, terlena, terhasut bujuk rayu iblis laknatullah. Keduanya, menyesal dan mohon maaf atas kesalahannya.
Pelajaran penting dapat ditimba dari kisah di atas. Pertama, siapapun, bila berbuat salah, mestinya bersegera bertobat. Ada penyesalan dan upaya mengkompensasi kesalahan dengan perbuatan baik. Bersumpah tidak mengulanginya.
Baca Juga: Sisa Tujuh Bulan, Pembangunan Proyek Strategis di Sukoharjo Dikebut, Ini Proyeknya
Ihwal penyesalan dan pertobatan merupakan urusan akhlak. Sudahkah pelaku-pelaku kejahatan di negeri ini menyesali dan bertobat? Ataukah justru tanpa penyesalan, bersikap sombong, berupaya menutupi kesalahan dengan kesalahan lain? Bukankah perilaku demikian serupa dengan perilaku iblis?!
Kedua, akhlak dan hukum merupakan karunia Tuhan sejak awal kehidupan. Berakhlak kepada diri sendiri, kepada sesama makhluk, dan kepada Tuhan, wajib dilakukan setiap saat. Hukum (perintah, anjuran, dan larangan) mesti ditaati. Sekali saja, akhlak dan hukum diabaikan, akibatnya fatal. Iblis diusir dari surga. Adam dan Hawa diturunkan sebagai penghuni planet bumi. Pantaskah orang-orang gemar pamer, bertipu-daya dalam perolehan harta dan kekuasaan, berharap mendapatkan kebahagiaan sejati di surga?
Pada kesalahan tipe kedua, otoritas permaafan berada pada setiap orang. Suatu kesalahan akan dimaafkan dengan tulus, ataukah sekedar basa-basi, atau justru digugat balik, segalanya menjadi urusan masing-masing. Urusannya bukan sekadar persoalan akhlak, melainkan urusan pelanggaran hukum (perundang-undangan).