Ambil contoh. Wansprestasi adalah kesalahan di bidang hukum perdata. Pencurian merupakan tindak pidana umum. Korupsi merupakan kejahatan hukum pidana khusus. Lamban, berbelit, dan mahalnya perizinan, merupakan kesalahan dalam hukum tata pemerintahan. Pelanggaran hak-hak konstitusional merupakan kesalahan bidang hukum tata negara.
Persoalan melebar, ketika hukum dikonsepkan sebagai perilaku (Satjipto Rahardjo, 1996). Tradisi, adalah kunci dan penjelas teoretis, mengapa banyak dijumpai perilaku salah, buruk, atau sesat. Pembengkakan anggaran rumah tangga buruh (contoh di atas), merupakan kesalahan sendiri karena kemiskinannya. Walau demikian, demi kemanusiaan, orang kaya wajib membantu orang miskin. Kemiskinan diatasi dengan kedermawanan. Di sinilah, akhlak dan “orde perilaku”, perlu dioptimalkan.
Hemat saya, permaafan pada momentum halal bil halal (dan sejenisnya), lebih mencerminkan tradisi masyarakat (Tamanaha, 2010) daripada upaya merekonstruksi kesalahan menjadi perilaku saleh/bijak. Sayang, bila anggota masyarakat atau komunitas, saling bermaafan, hanya demi tradisi. Padahal, diluar tradisi itu, persoalan hukum semakin marak. Persoalan akhlak semakin bobrok.
Dalam rentangan lebih luas dan mendasar, sebenarnya benang merah antara permaafan dan hukum, sebagaimana terurai di atas, terpulang pada martabat/kemuliaan manusia (human dignity). Martabah (bahasa Arab) artinya tingkatan (degree) kemuliaan.
Baca Juga: Siapapun bisa jadi korban klitih, pelaku tak pilih-pilih
Menurut Giovani Pico della Mirandolla - filsuf zaman Renaissance – (dalam Oration on the Dignity of Man, 1999) martabat/kemuliaan manusia terhubung dengan kebebasan yang melekat pada dirinya. Pada azasnya, setiap manusia berkehendak bebas membentuk dirinya. Kebebasan akan bermakna, bila dalam penggunaan pengetahuan teoretis dibimbing akal sehat dan budi pekerti.
Menurut Immanuel Kant (dalam Fondaziane della Metafisica dei Costumi, 2003) martabat/kemuliaan manusia bukan ditentukan oleh kodrat ataupun Allah, tetapi oleh otonominya. Seseorang bermartabat/dimuliakan, karena partisipasi-moralitasnya secara universal, dan kemampuannya untuk hidup di bawah hukum moral, yakni hukum yang disahkan oleh hati nuraninya.
Di atas pemikiran dua filsuf tersebut, suatu dalil kebenaran absolut bahwa martabat/kemuliaan seseorang, terpulang pada fitrah, hati-nurani, akal, dan perilaku (budi-pekertinya). Optik sosial, budaya, politik, ekonomi, regulasi, tidaklah cukup (bahkan sering bias) untuk dijadikan tolok ukur martabat/kemuliaan manusia.
Baca Juga: PVMBG Ungkap Ada Potensi Bahaya Erupsi Kawah Gunung Gamalama
Setelah Idul Fitri lebar (usai), beranjak ke Syawal (peningkatan), maka siapakah diantara kita yang bermartabat? Tiada lain, siapapun yang senantiasa taat, patuh, pada tuntunan akhlak (moralitas-religius), beserta hukum-hukum yang bersumber pada kehendak Ilahi Robbi.
Salam Pancasila, sehat, bahagia.
* Guru Besar UGM Pengajar Filsafat Ilmu Hukum