Bila di Amerika ada kejahatan yang dilakukan para corporate lawyers sebagai hired guns atau “penembak bayaran”, maka serupa dengan itu, di sini, ada gang, mafia, sindikat. Di dalamnya, berbagai oknum profesional berkumpul, menggalang kekuatan, untuk menjarah uang negara, uang rakyat, sumberdaya alam, menaklukan lawan politik, dan sebagainya.
Dalam perspektif sosiologi hukum, dapat dicermati, oknum-oknum profesional tersebut ada yang bertugas membuat hukum (legislator), melaksanakan hukum (birokrat), maupun menegakkan hukum (aparat penegak hukum). Bayangkan, betapa runyamnya, apabila oknum-oknum itu berada di lembaga negara atau lembaga pemerintahan (misal: di MK, MA, DPR, KPU, dan lain-lainnya). Di hadapan mereka, jangan pernah bermimpi perihal equality before the law. Itu mimpi di siang bolong. Realitas sosiologis-empiris, hukum cenderung diskriminatif, tajam ke bawah, tumpul ke atas, berpihak untuk kelompoknya.
Baca Juga: Anak-anak belasan tahun jadi korban prostitusi, ini pelakunya
Tiadalah kekuasaan yang netral. Segarkan ingatan pada tesis Lord Acton bahwa “kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang mutlak, akan melakukan korupsi secara besar-besaran”
Kedua, perihal penyesalan. Pasti. Setiap orang ingin hidup bahagia. Kecukupan sandang, pangan, papan, dan berbagai kebutuhan sekunder, maupun tersier lainnya. Manisnya buah melon, mungkin terdaftar dalam urutan kesekian dari kebutuhan. Itu hanya sebagai kiasan manisnya kehidupan ala Kahlil Gibran.
Petani melon, paham, kapan buah melon mesti dipanen. Betapapun ukurannya besar, tidak menjadi jaminan, buah itu sudah masak. Hanya dipanen, ketika sudah tua (masak). Rasanya pasti manis. Begitulah kearifan manusia berpadu dengan hukum alam.
Melon hasil curian, ternyata rasanya pahit. Inilah gambaran harta haram. Tak seorangpun manusia waras menginginkannya. Pahitnya kehidupan bukan sekedar ada di lidah, melainkan merasuk hingga rongga jiwa. Mencuri, menjarah, dan makan harta haram, tidaklah membuahkan kebahagiaan, melainkan penderitaan.
Suatu sikap bagus, ketika seseorang sadar akan perilaku jahatnya, kemudian menyesalinya. Keteladanan Nabi Adam a.s., ketika sadar telah berbuat salah, makan buah kuldi, segera diikuti penyesalan dan pertaubatan. “Robbana dholamna Anfusana wa inlam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakunanna minal khosirin”. Artinya: “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi”.
Dipertanyakan, apakah penyesalan Nabi Adam a.s. dan penyesalan pencuri melon, diteladani oleh penduduk di negeri Pancasila ini? Ditengarai, Pancasila hanya ada sebagai rumusan dasar falsafah negara, tetapi nilai-nilai Pancasila tidak diamalkan sebagai way of life. Kapan pengamalan Pancasila berbuah akhlakul karimah.?
Bagi para penjahat, bukannya penyesalan, melainkan pelibatgandakan kejahatan yang dilakukan. Korupsi, pencucian uang, pamer kekayaan, arogansi, dan seterusnya. Oh negeriku, … sedemikian marak dan masif kejahatan berselimut hukum.
Salam Pancasila, sehat dan bahagia.*
*) Guru Besar Ilmu Hukum UGM