Peringatan Ilahi Rabbi, bahwa sekecil apapun kejahatan/dosa manusia semasa hidup di dunia, pasti akan diperhitungkannya. Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarah (komponen atom yang sangat kecil), niscaya dia akan melihat ganjarannya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan merasakan penderitaan akibat perbuatannya itu (QS. Al-Zalzalah [99]: 7-8).
Dalam konteks kehidupan bernegara Indonesia saat ini, korupsi sistemik bisa menjadi pola perilaku siapapun. Korupsi bisa dilakukan oleh siapa pun, mulai dari posisi terendah hingga posisi tertinggi. Secara empiris, paling tidak, sejak era Pilpres, Pilleg, dan Pilkada langsung, sudah beratus-ratus Kepala Daerah, pengusaha, dan pejabat publik, terjerat kasus korupsi.
Baca Juga: Pilkada 2024, KPU Sukoharjo umumkan lembaga pemantau terakreditasi
Mereka tersandera oleh sistem, sehingga jabatan maupun posisi struktural birokrasi dijadikan sebagai kavling pengembalian modal politik. Pola kejahatannya dilakukan dengan membangun dan merawat relasi patron-client atau yang disebut exchange of resources. Banalitas perilaku tercermin dari derasnya lelehan ”air liur” investor politik (pengusaha) untuk menanamkan saham bagi kemenangan jagoan politiknya, berupa balas jasa politik (berupa proyek). Di sinilah praktik monetisasi resiprokal politik ekonomi saling bercumbu-rayu di atas ranjang demokrasi.
Tekad Presiden Prabowo Subianto untuk menjadikan negara ini bersih dari korupsi patut didukung. Hemat saya, mestinya dimulai dengan perubahan sistem pemerintahan secara fundamental. Artinya:
(1) Kehidupan bernegara mesti dipahami sebagai proses aktual-dinamis. Walau Kabinet Merah-Putih banyak diisi wajah lama, aktivitas penyelenggaraan negara, harus berubah, tidak boleh terjadi genangan air (status quo).
(2) Senantiasa dicari celah (potensi dan energi), agar laju aktivitas pemerintahan, mengalir ke laut luas, yakni kesejahteaan bangsa seluruhnya.
(3) Dalam kerangka aktualisasi dan dinamisasi proses kehidupan bernegara, maka perubahan pada sistem demokrasi, sistem hukum, sistem ekonomi, sistem kesehatan, sistem ketahanan nasional, dan sebagainya, mesti dibenahi total.
(4) Kebuntuan/kemandegan pemberantasan korupsi, perlu dibenahi dengan sistem baru, dimulai dengan pembersihan penyakit fisik/kelembagaan, maupun penyakit mentalitas/spiritual (metalitas korup) pada semua aparat di lembaga-lembaga penegak hukum.
Air kehidupan bernegara mesti terus mengalir. Mengalir dalam kesejatian. Artinya, sebagai manusia yang sejatinya bertaqwa, beradab, mampu berbuat adil, bertekad menjaga persatuan, mestinya mampu menjaga dan memelihara semua perangkat penyangga kehidupan bernegara, sehingga air mengalir sampai kelaut (tujuan bernegara dapat dicapai). Walllahu’alam.
* Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM