opini

Intelektualitas Insan Kampus

Selasa, 27 Agustus 2024 | 09:30 WIB
Sudjito Atmoredjo (Dok.Merapi)

Oleh: Sudjito Atmoredjo*

Insan-insan kampus terus-menerus dalam sorotan. Dari pucuk pimpinan di Kementerian, hingga terbawah, yakni output (lulusan). Banyak hal dipertanyakan. Apa komitmennya? Ke arah mana orientasinya? Mengapa intelektualitasnya rendah? Tampaknya, permasalahan-permasalahannya kian kompleks, rumit, dan kusut.

Idealitasnya, insan-insan kampus itu memiliki komitmen kebangsaan dan berintelektualitas tinggi. Mereka mau dan mampu menyelaraskan tiga unsur batiniahnya: emosional, intelektual, dan spiritualnya. Ketiganya dipadukan dan difungsikan secara holistik, menyeluruh dan utuh, dalam satu pemikiran, sikap, dan perilaku kolektif. Buah dari intelektualitas adalah suatu ide, konsep, abstraksi, tentang realitas kehidupan, yang mudah dimengerti dan mudah dijabarkan oleh orang-orang berakal sehat, ke dalam berbagai urusan. Bermodalkan ilmunya, mampu memberikan pencerahan jiwa kepada siapapun, dalam rangka pencerdasaan kehidupan bangsa. 

Pada ranah religius, insan kampus dikenal sebagai ulul-ilmi, yaitu para cendekia/ilmuwan/ulama yang memiliki ilmu, dan dengan ilmunya, mampu berkarya nyata (konkrit). Karya-karyanya merupakan monumen historis-kultural. Bersifat kontributif. Demi peningkatan martabat dan peradaban.

Pada derajat lebih tinggi, insan kampus disebut ulul-albab, yaitu insan berkal sehat, yang kepemilikan ilmunya berlipat-ganda, berlapis-lapis, bertumpuk-tumpuk. Ilmunya luas dan dalam. Terbentang pada semua lini kehidupan. Pun pula, berkategori sebagai ilmu bermanfaat. Kemanfaatannya mengalirkan sebagai kemaslahatan bagi kehidupan bersama, maupun sebagai pahala kepada pemiliknya, pasca kematian.

Baca Juga: PPP dan NasDem Gabung Jadi Satu Fraksi di DPRD Sleman, Untung Basuki Rahmad Jabat Ketua

Dengan ketinggian kualitas ilmunya, ulul-albab, dapat digolongkan sebagai orang mumpuni. Artinya, mampu menembus pemikiran, perasaan, dan makna realitas, lintas dimensi. Ilmunya, dapat dijadikan dasar pemecahan masalah-masalah, sekaligus sarana pemakmuran kehidupan semua makhluk di muka bumi.

Dalam filosofi Jawa (kejawen), ulul-albab dipadankan dengan orang “sugih tanpa bandha.”Maknanya, orang itu kaya bukan pada harta-benda duniawi, melainkan kaya/besar pada jiwanya, dan ilmunya. Orang “sekti tanpa aji-aji”. Maknanya, hebat, ampuh, sakti, kuat, dan berwibawa, bukan karena mantra-mantra, melainkan karena ilmunya. Perilaku kesehariannya, lembah manah, andap asor. Rendah hati. Tidak sombong. Semakin tinggi ilmunya, semakin merunduk.

Sampai dengan saat ini, kampus masih dipandang sebagai wilayah dan sarana terbaik untuk menanamkan nilai-nilai luhur (akhlak) bangsa. Dari dan di dalam kampus-kampus, diharapkan dapat dibangun sistem pendidikan Pancasila. Harapan demikian mengandung konsekuensi serius, yakni kampus mesti diisi insan-insan berintelektualitas tinggi, dan berjiwa Pancasila. Dari mereka, pendidikan diselenggarakan bukan sekadar untuk alih pengetahuan (transfer of knowledge), dan bukan pula sekadar pelatihan ketrampilan (skills), melainkan pendidikan berbasis nilai-nilai (values) dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

            Pada ranah empiris, bila dicermati seksama, semakin jelas dan terasakan, bahwa ilmu yang dipelajari dan diajarkan di pendidikan tinggi, pasca reformasi, umumnya kurang luas dan kurang mendalam (alias dangkal). Dominan pada aspek teknik, practical, dan pragmatis. Kajian tentang nilai-nilai, asas-asas, filosofi sebagai basis ilmu, teramat kurang. Teramati, ilmuwan kampus (dosen dan mahasiswa tertentu), serupa dengan pohon berakar serabut. Rawan terinjak-injak, tersingkirkan, oleh ilmuwan mutakhir dan pakar-pakar asing.

Untuk keluar dari situasi kelam demikian, kiranya bijak bila bangsa ini (khususnya pemerintah dan penyelenggara pendidikan tinggi) belajar dari realitas historis masa lampau berikut.

Baca Juga: PKS Temanggung dukung Agus - Nadia, di Pilkada 2024

Dulu, di abad ke-8 hingga ke-11 Masehi, dijumpai banyak ilmuwan dan filsuf hebat. Pemikiran-pemikirannya luas. Selain bersumber pada nilai-nilai religius, pun wawasannya menjangkau kehidupan zaman klasik hingga zaman modern (serba rasional dan materialistik). Saat itu, bermunculan pusat-pusat ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah kota Baghdad.

Tragedi penghancuran pusat-pusat ilmu pengetahuan, terjadi ketika dinasti Abbasiyah takluk atas serangan bangsa Mongol. Bersamaan dengan tragedi itu, perpustakaan Baghdad (House of Wisdom atau Bayt al-Hikma) sebagai institusi intelektual, dihancurkan. Pada hal, perpustakaan itu merupakan tempat diskusi para ilmuwan lintas golongan dan lintas agama, selama berabad-abad. Dari perpustakaan itulah, khalifah Ma’mun (813-833 M) memajukan negara, melalui olah ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang. Sayang, itu semua sirna, pada tahun 1257. Dunia pun menangis, karena kehilangan sumber ilmu pengetahuan berskala global.

Halaman:

Tags

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB