Sayang, konsep hukum progresif yang masih berada pada tataran awal, terhenti, tak berkembang menjadi sempurna, ketika penggagasnya wafat. Tanpa kawalan beliau, ada orang-orang mempraktikan hukum progresif sembarangan. Misal: asas rule making dan rule breaking dipraktikan secara liberal untuk kepentingan politik dan bisnis.
Hukum profetik, senafas dengan hukum progresif, dalam cakupan lebih luas dan lebih dalam. Dalam kualitas demikian, disarankan oleh Artidjo agar perangkat perundang-undangan dan penegakan hukumnya, harus dapat menginisiasi nilai keadaban yang membentuk budaya hukum sebagai kesadaran kolektif bangsa dalam bernegara hukum, yang menghormati keadilan kemanusiaan. Arsitektur negara hukum Pancasila akan selalu tegak dan kokoh bila dibangun dengan fondasi persatuan yang direkatkan oleh semen kohesi sosial keadilan sehingga dapat melindungi martabat bangsa. Tersurat dalam pidato pengukuhan sebagai profesor, Syamsuddin (2023) yakin, pengamalan ilmu hukum profetik merupakan solusi mujarab terhadap segala krisis hukum di era postmodern, zaman edan, zaman kalabendu.
Dalam spirit khidmat pada hukum profetik, wajib disimak firman Allah SWT:”Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS.al-Maidah: 50).
Hukum Allah telah dicontohkan pengamalannya oleh Rusulullah SAW. Dari sanalah masyarakat jahiliyah yang berhukum pada kesesatan dan kebodohan, dibimbing untuk kembali ke hukum profetik. Muaranya, terwujud masyarakat tertib, adil, dan sejahtera (baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur). Inilah dambaan kita semua. Wallahu’alam.*
*) Guru Besar Ilmu Hukum UGM