Khidmat pada Hukum Profetik

photo author
- Selasa, 19 September 2023 | 11:00 WIB
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (Dok pribadi)
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (Dok pribadi)

Oleh: Sudjito Atmoredjo *)

Bagi orang beriman, hukum profetik (kenabian) telah dikenal dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum profetik diperlukan untuk menemukan kebenaran dan keadilan sejati, melalui humanisasi/amar ma’ruf, liberasi/nahi munkar, dan transendensi/tu’minuna billah (Kuntowijoyo, 2007; Syamsuddin, 2023). Pengamalan hukum profetik merupakan manifestasi ketaqwaan kepada Allah SWT. Sungguh tak elok, dilarang, berdosa, bila orang beriman justru mengamalkan hukum sekuler.

Menurut Hakim Agung Artidjo Alkostar (2017), hukum profetik adalah hukum yang bersukma keadilan dan melindungi martabat kemanusiaan. Ia berdimensi transendental dan memiliki tali sumbu nilai dengan kebenaran hakiki dan terkait struktur rohani masyarakat beradab. Sebagai konstitusi kehidupan umat manusia yang substansinya bersumber nilai ilahiah, hukum profetik diperuntukkan bagi bangsa manusia yang memberikan transformasi nilai kebajikan.

Hukum profetik dipraktikkan Artidjo dalam seluruh proses peradilan di Mahkamah Agung. Daripadanya dihasilkan putusan-putusan (vonis) hakim berkualitas tinggi. Irah-irah vonis “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, diterjemahkan secara sungguh-sungguh dalam proses peradilan maupun isi vonis. Di situlah, Artidjo tegar mempertanggungjawabkan amanah profesi kepada masyarakat, bangsa, dan Negara, hingga kepada Allah Yang Maha Adil.

Baca Juga: Pria bertato penuh luka yang ditemukan di bawah jembatan Serang Kulon Progo diduga bunuh diri, ini faktanya

Penduduk Indonesia - mayoritas beragama Islam - amat mendambakan agar hukum profetik mewarnai keindahan Negara hukum berdasarkan Pancasila. Harapan demikian, akan terkabulkan bila ada perjuangan sungguh-sungguh. Mengapa? Karena krisis bernegara hukum sudah sedemikian akut. Para ahli hukum – akademisi maupun praktisi – selama ini terjebak dalam pola pikir yang cenderung sekuler. Ketika mereka bicara perihal tertib hukum, kepastian hukum, logika hukum, keadilan, dan lain-lainnya, senantiasa memosisikan hukum positif  (warisan penjajahan Belanda dan hukum produk politik di era kemerdekaan) sebagai instrumen ampuh untuk kelancaran kehidupan secara keseluruhan.

Bagi para praktisi hukum masa kini, ketika mereka dihadapkan pada berbagai kasus hukum, upaya-upaya penyelesaiannya selalu berdasarkan pola pikir legal-positivistic. Artinya, bertumpu pada hukum positif semata. Metodenya, sangat steril, terisolasi, jauh dari realitas spiritual-religius. Implikasinya, proses peradilan cenderung dangkal, hanya atas dasar fakta-fakta fisik-materiil terbatas, sehingga hanya dilahirkan keadilan formal belaka. Kasus-kasus hukum jarang terselesaikan tuntas.

Krisis bernegara hukum di negeri ini, sudah mulai terasakan ketika hukum diidentikkan dengan undang-undang buatan penguasa. Krisis demikian, tak perlu terjadi, apabila pembuatan undang-undang bersumber pada Pancasila, khususnya sila Ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam sikap filosofis demikian, maka hukum profetik menjadi wajib diperhatikan sungguh-sungguh. Akan tetapi, ketika Pancasila ditafsir dan dipraktikan secara akrobatik, dan pembuatan undang-undang berorientasi pada kepentingan politik dan bisnis, serta-merta hukum profetik dipinggirkan, maka krisis hukumpun tak terelakkan.

Baca Juga: Jika Hari Ini Mangkir Lagi, Penyidik Akan Jemput Paksa Pemeran Film Dewasa

Dalam pencermatan Artidjo,  menonjolnya peradaban suatu bangsa, berkorelasi dengan adanya keunggulan titik-tumbuh dari elemen peradabannya, seperti tegaknya keadilan, sistem politik, tradisi keilmuan, perdagangan, militer atau budaya, yang kesemua itu berujung pada simpul meningkatnya martabat kemanusiaan bangsanya. Jika sistem politik dan praktik penyelenggaraan kekuasaan menegasikan hak-hak asasi rakyat dan perangkat hukum, rekrutmen kekuasaan politik tidak berspirit kerakyatan, cepat atau lambat, kekuasaan tersebut akan pudar dan tunduk pada hukum alam, siklus peradaban.

Diingatkan oleh Satjipto Rahardjo (2003) bahwa krisis hukum pernah dialami oleh bangsa-bangsa lain. Dari mereka kita mestinya belajar untuk pencegahan dan penanggulangannya. Amerika misalnya, di tahun 1960-1970, mengalami krisis berat, hingga muncul berbagai reaksi sosial. Gerakan Free Speech Movement, gerakan Hipies, The Berkeley Revolt, Critical Legal Studies (CLS) Movement, dan lain-lain. Semua itu disebutnya sebagai busa-busa di permukaan lautan dari bangsa Amerika yang sedang mengalami keguncangan krisis hukum. Ketika hukum sebagai penjaga ketertiban dan instrumen perwujudan keadilan ternyata gagal mengemban fungsinya, para cendekiawan pun bertanya, apakah hukum sudah mati?

Respons komprehensif-ilmiah, atas krisis hukum di negeri ini, datang dari Satjitpto Rahardjo (2002) sebagaimana terangkum dalam konsep hukum progresif. Pada intinya konsep hukum progresif mendorong komunitas pekerja hukum untuk berani keluar dari belenggu pola pikir legal-positivistic, sekalian dengan itu membuat terobosan melalui rule making dan/atau rule breaking.

Baca Juga: DIY Tambah 25 Armada Baru TransJogja

Isi konsep hukum progresif antara lain: (1) Memosisikan manusia pada titik-pusat perputaran hukum. Kredonya, "hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”; (2) Menolak mempertahankan keadaan status quo. Diperlukan perubahan hukum sesuai dengan zaman, tanpa lepas dari fondasi hukum, yakni moralitas sosial-kebangsaan dan spiritual-religius dalam Pancasila; (3) Memberikan perhatian besar terhadap prilaku manusia daripada urusan peraturan perundang-undangan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB
X