Oleh: Ilham Yuli Isdiyanto
Mungkin sudah saatnya kita tidak perlu bermalu-malu, untuk mengakui bahwa kita menganut oligarki. Bahkan, kenapa harus meributkan keluarga Presiden Joko Widodo yang membangun dinasti, toh jika rakyat masih memilih berarti rakyat melegitimasi kan?
Menginsyafi realitas jauh lebih baik daripada membicarakan idealitas yang tak mampu diperjuangkan, seperti judul lagu band rock Indonesia, Koil, yakni “Kenyataan dalam Dunia Fantasi” maka pembicaraan kritis sekalipun hanya akan menjadi fantasi.
Selama demokrasi Indonesia masih berkhitmat pada prosedural formal, maka ia akan menutup mata pada etika dan prinsipnya.
Baca Juga: Dituduh lakukan plecehan seksual harus bayar denda, berbuntut main hakim sendiri
Merayakan 'Dinasti'
Orang kadang tidak menyadari bahwa tidak ada jaminan melalui demokrasi, bahkan demokrasi tidak mampu memberikan jaminan akan demokratisasi maupun keadaan yang demokratis.
Demokrasi bahkan akan mudah dicurangi dengan standar ganda prosedur regulasi, hal ini diperparah dengan sedikitnya kesadaran atas demokrasi itu sendiri.
Nyatanya, untuk berdemokrasi di Indonesia tidak dibutuhkan kesadaran karena 'isi kepala' tidak pernah menjadi bahan pertimbangan seseorang untuk naik ke jabatan, melainkan hanya sebatas 'jumlah kepalanya' melalui sistem votting.
Dari sini, aspek kuantitas lebih menonjol ketimbang aspek kualitas, sehingga kualitas demokrasi tidaklah menjadi tujuan para politisi, tetapi kuantitas suaralah yang menjadi penentu.
Baca Juga: Begini Keseruan Kontes Kambing Peranakan Etawa Ras Kaligesing Kulon Progo
Fenomena ini kemudian memunculkan pola tranksaksional yang oleh Jean Baechler disebut 'pasar politik' yakni tempat pertukaran 'segala hal'.
Bahkan isi dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum lebih mendorong pada legitimasi kuantitatif ketimbang legitimasi kualitatif.
Kebutuhan demokrasi yang kuantitatif ini melahirkan para demogog politik yang berpegang pada kredo “kepentingan politik untuk keuntungan politisi demi mencapai posisi” karena banyak celah yang muncul. Kesadaran baru muncul, yakni menciptakan elit politik untuk mengatur segalanya, karena politik dalam diskursus demokrasi berbasis kuantitatif hanya membutuhkan logistic (biaya politik) ketimbang logika (kesadaran dan kualitas demokrasi).