Reog Ponorogo kesenian warisan budaya takbenda dunia, mampu bertahan hadapi gempuran budaya modern

photo author
- Sabtu, 22 Maret 2025 | 18:00 WIB
Seniman Reog Ponorogo tampil pada Festival Budaya di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (4/12/2024). (MERAPI-ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/nym. )
Seniman Reog Ponorogo tampil pada Festival Budaya di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (4/12/2024). (MERAPI-ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/nym. )

HARIAN MERAPI - Reog Ponorogo merupakan salah satu dari kesenian tradisional di Indonesia yang memiliki kekuatan luar biasa dalam mengarungi pertempuran dengan budaya modern.

Padahal hampir semua kesenian tradisional menghadapi tantangan besar, bahkan pertempuran hebat, berhadapan dengan gemerlapnya budaya modern yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi.

Namun pada 3 Desember 2024, organisasi internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan atau UNESCO menetapkan Reog Ponorogo masuk dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda (WBTb) kategori “In Need of Urgent Safeguarding”.

Baca Juga: Permudah pembelajaran di Kampus dengan AI, ini tiga tips yang disampaikan pakar SEVIMA

Bagi orang Ponorogo, baik tinggal di kabupaten itu maupun yang merantau ke daerah lain, bahkan ke luar negeri, penetapan Reog sebagai warisan budaya itu bukan sekadar kebanggaan,

melainkan juga menjadi energi tambahan bagi pelaku untuk tetap semangat mempertahankan kesenian nenek moyangnya itu melawan budaya modern masa kini.

Ada beberapa alasan sehingga kesenian Reog tidak pernah ditinggalkan oleh generasi masa kini Ponorogo, meskipun budaya modern lebih menjanjikan gemerlap dan kemewahan?

Budayawan (alm) Prof Dr Ayu Sutarto pernah mengemukakan alasan mengapa Reog, termasuk ludruk, dua kesenian tradisional di Jawa Timur, yang hingga kini masih hidup dan digemari oleh masyarakat.

Baca Juga: Libur Lebaran 2025, sebanyak 6 juta pemudik akan masuki DIY

Ayu memaparkan dua elemen penyangga Reog dan ludruk, yakni adanya pewaris aktif dan pewaris pasif.

Pewaris aktif ini merujuk kepada mereka yang menjadi pelaku (pemain) kesenian tradisional tersebut, sedangkan pewaris pasif adalah para penikmat atau penonton.

Dua pewaris itu berada dalam relasi yang simbiosis mutualisme, karena satu sama lain saling membutuhkan.

Pewaris aktif atau pelaku membutuhkan kehadiran penonton sebagai penikmat, sedangkan pewaris pasif memerlukan hadirnya pelaku kesenian untuk mendapatkan hiburan.

Baca Juga: Puasa Ramadhan untuk membangun masyarakat yang berkeadilan

Hingga kini, masyarakat di daerah yang dikenal sebagai "Kota Santri" dan "Kota Dawet" itu, baik pelaku aktif maupun pasif, masih menempatkan Reog sebagai sarana hiburan, sekaligus sarana merawat kebanggaan sebagai wong Ponorogo.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Swasto Dayanto

Sumber: ANTARA

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Panen Sastra Diisi Diskusi dan Bedah Buku Sastra

Rabu, 15 Oktober 2025 | 08:30 WIB
X