Melacak Artefak Kejayaan Sultan Agung di Kerto-Pleret yang Dihancurkan Pihak Kolonial

photo author
- Rabu, 6 Oktober 2021 | 07:41 WIB
Suasana sarasehan para pembicara menyampaiakan paparan makalahnya  (Foto: Teguh Priyono)
Suasana sarasehan para pembicara menyampaiakan paparan makalahnya (Foto: Teguh Priyono)

BANTUL, harianmerapi.com - Penghancuran artefak peninggalan masa kejayaan Sultan Agung di kerajaraan Mataram, dilakukan oleh pihak kolonial saat itu berjalan dengan sedemikian masif. Hal itu terbukti dari hilangnya jejak kerajaan besar Mataram Islam di Kerto dan Pleret.

Puing-puing kerajaan yang berupa batu bata pun, oleh pihak penguasa berani dibeli dengan harga tinggi setelah dihancurkan menjadi Bligon atau semen merah.

Hal itu diungkap Ketua Yayasan Indonesia Rumah Kebhinekaan Dr. Amiluhur Soeroso, pada Sarasehan Budaya Festival Imogiri #2 bertajuk Babad Tutur Bhumidirja, Melacak Jejak Sultan Agung, di Angkringan Anget-anget Gabahan, Kebonagung, Imogiri, Bantul, Selasa (5/10/2021) sore.

Baca Juga: Mensyukuri Nikmat 9: Mencoba Mengelak dari Kenyataan

Akibatnya saat ini benar-benar sulit untuk menemukan lokasi yang pasti dimana letak istana Kerajaan Mataram semasa kejayaan Sultan Agung itu.

Meski begitu berbagai catatan sejarah tetap dapat menjadi rujukan yang valid bahwa di Kerto-Pleret pernah ada kerajaan besar dengan raja Sultan Agung yang memiliki pengaruh sedemikian kuat terhadap dinamika politik perlawanan terhadap pihak kolonial ketika itu.

"Karena itulah penghancuran kerajaan setelah bumi hangus penyerangan terhadap istana Sultan Agung dilanjutkan dengan meluluh lantakan sisa puing puing batu merah dengan digepuk dijadikan bligon atau semen merah. Dan pihak penguasa berani memberi dengan harga tinggi. Sehingga yang terjadi saat ini tidak mudah menemukan di mana istana Sultan Agung itu berada," ucapnya.

Baca Juga: Kesaktian Syekh Maulana 7: Setelah Meninggal, Dakwah Agama Dilanjutkan Murid-muridnya

Lebih lanjut menurut Amiluhur, Sultan Agung meninggalkan banyak artefak sejarah selain kompleks makam raja-raja Imogiri yang masih dapat disaksikan hinggi kini.

Kehebatan Sultan Agung juga meninggalkan penanggalan atau kalender Jawa yang merupakan penggabungan Kalender Hijriyah dengan Kalender Saka. Sultan Agung juga merupakan penggagas adanya tradisi perayaan Sekaten yang hingga saat ini dilaksanakan oleh dua kerajaan Jawa Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyajarta.

Bahkan dalam sejumlah kisah tutur, pada masa Sultan Agung juga membendung Sungai Oyo untuk membuat danau luas atau Segarayasa yang digunakan untuk latihan para prajurit marinirnya. Kawsan itu bekas danau itu kini menjadi desa Segarayasa.

Baca Juga: Misteri Tujuh Bajangkerek 3: Mau Pergi Setelah Digendong dengan Selendang Sutera

Selain Dr. Amiluhur Soeroso hadir juga sebagai pembicara Ir. Nurdi Antoro dari Yayasan Warisan Mataram Pleret dan HM Satriya Wibawa dari Institute sebagai moderator. Sejumlah pemerhati sejarah dan tokoh seniman turut hadir dalam acara yang dihelat terkesan santai ini, diantaranya Yani Saptohudoyo.

Sementara itu menurut penggagas Festival Imogiri sekaligus Ketua Panitian kegiatan, Sigit Sugito, kegiatan ini merupakan kelanjutan dari Festival Imogiri yang pernah digelar pada tahun 2017 lalu. Kegiatan itu sempat terhenti karena terkendala waktu pelaksanaannya dan munculnya pandemi tahun 2019, sehingga baru dapat dilaksanakan saat ini.

"Ini kelanjutan kegiatan festival sebelumnya pada tahun 2017, tujuannya bagaimana menelusuri jejak sejarah yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kehidupan kita hari ini dan esok. Agar benang merah kesinambungan nilai-nilai historik itu tidak terputus bagi generasi mendatang," tutur Sigit.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Swasto Dayanto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Pengangguran Curi Motor Mahasiswa di Warung Kopi

Rabu, 3 Desember 2025 | 08:00 WIB
X