HARIAN MERAPI - Di tengah derasnya arus ujaran kebencian, hoaks, kepalsuan, hingga praktik korupsi yang kian terang-terangan, umat Islam kembali diingatkan pada warisan syair klasik penuh makna, Qasidah Burdah karya Imam Al-Bushiri.
Syair berusia ratusan tahun itu tetap segar relevansinya, karena senantiasa menempatkan Rasulullah Muhammad SAW sebagai teladan agung dengan akhlak yang mulia.
“Kalau kita baca bait-bait Burdah, yang dipuji bukan sekadar sosok fisik Nabi, tapi akhlak, kebijaksanaan, dan kasih sayangnya. Justru itu yang hilang di masyarakat kita hari ini. Tokoh-tokoh banyak yang semakin jauh dari teladan Rasulullah,” ujar Ustadz Eko Priyatno, pembimbing pengajian Kitab Burdah rutin di Nitiprayan, Jumat (29/8).
Salah satu bait yang kerap dibacakan berbunyi, “Fa inna min jūdika-d-dunyā wa ḍarratahā, wa min ‘ulūmika ‘ilmal-lauḥi wal-qalami.” (Sesungguhnya, di antara kemurahanmu adalah dunia dan segala isinya, dan di antara ilmumu adalah pengetahuan Lauhul Mahfudz dan Qalam).
Bait ini menunjukkan betapa Rasulullah SAW bukan hanya teladan dalam akhlak, tetapi juga sumber rahmat dan ilmu yang menerangi umat manusia. Sebuah pesan yang begitu relevan ketika dunia kini justru diliputi kepalsuan dan kerakusan.
Baca Juga: Penyebab Kematian Mahasiswa Amikom Rheza Sendy Pratama Masih Misteri, Kapolda DIY Janji Usut Tuntas
Pengajian yang dimulai setiap Jumat ini berlangsung hangat dan sederhana. Dipandu langsung oleh Ustadz Eko, kegiatan ini berada di bawah payung NgaSSo (Ngaji Sabtu-Sore), sebuah gerakan literasi dan spiritual masyarakat yang digerakkan oleh Widodo Brontowiyono. Warga Nitiprayan, Kasihan, Bantul dan sekitarnya terlihat antusias mengikuti lantunan syair demi syair, yang mengalun penuh keindahan sekaligus perenungan.
Menurut Widodo Brontowiyono, syair Burdah adalah semacam obat hati di tengah krisis moral bangsa. “Kita sedang hidup di zaman yang liar, penuh ujaran kebencian dan kepalsuan. Burdah memberi arah untuk kembali kepada keteladanan Nabi. Kalau akhlak mulia ditegakkan, bangsa ini akan kuat,” jelasnya.
Imam al-Bushiri menulis Burdah dalam kondisi pribadi yang penuh ujian, namun justru dari sanalah lahir untaian syair yang abadi. Setiap baitnya tidak hanya melukiskan kecintaan kepada Rasulullah, tetapi juga mengajak pembacanya untuk meneladani sifat amanah, kejujuran, dan kasih sayang beliau.
Kini, ketika masyarakat modern dihadapkan pada derasnya arus informasi yang kerap menyesatkan, qasidah ini seakan menjadi pengingat keras: jalan selamat ada pada kembali meniru akhlak Nabi Muhammad SAW. Bukan hanya dengan memuji, tetapi juga meneladani.
“Kalau kita semua mau mencontoh kejujuran dan kasih sayang Rasulullah, insyaAllah ujaran kebencian dan korupsi itu akan sirna, minimum berkurang jauh,” tutup Widodo dalam dialog pengajian ini. *