harianmerapi.com - Guna melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat, Sunan Drajat melakukan metode berdakwah yang sama dengan sang kakak, Sunan Bonang.
Yakni, berdakwah melalui adat lokal dan kesenian tradisional, dengan catatan asal tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Tak jarang Sunan Drajat menyampaikan petuah lewat tembang pangkur yang diiringi dengan alat musik gending.
Para wali termasuk Sunan Drajat memang seringkali menggunakan kesenian tradisional untuk melakukan dakwahnya.
Sunan Drajat sendiri terkenal sebagai wali Allah yang menjadi pelopor terciptanya tembang Mocopat seperti Pangkur.
Selain itu, terdapat bukti lain seperti beberapa alat gamelan yang dinamai “Singo Mengkok” dan hanya tinggal kerangkanya yang tersimpan di museum.
Dalam mengamalkan ajaran Islam terutama meningkatkan jiwa sosial dan pengentasan kemiskinan, Sunan Drajat mengajarkan filosofi yang dilukiskan dalam tujuh sap tangga di komplek makam Sunan Drajat.
Tujuh ajaran tersebut sangat sederhana sehingga mampu diamalkan siapa saja dari berbagai kalangan.
Makna filosofi ketujuh sap tangga tersebut, yang pertama: "Memangun resep tyasing Sasoma" (kita harus selalu membuat hati orang lain merasa senang).
Kedua: "Jroning suka kudu éling lan waspada," artinya ketika kita merasa bahagia, harus selalu ingat pada sang Kuasa (bersyukur) dan tetap waspada.
Ketiga: "Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah", artinya dalam perjalanan untuk menggapai cita-cita luhur, kita tidak boleh takut dan mudah putus asa dari berbagai rintangan.
Keempat: "Meper Hardaning Pancadriya," yakni anjuran untuk selalu menekan hawa nafsu yang bergelora.