harianmerapi.com - Memasuki kotaraja Majapahit prajurit jaga regol yang memegang tombak membiarkan saja mereka lewat karena mengerti yang berada di paling depan adalah Uddara anak Ki Patih Mpu Tahan.
Ketika Uddara yang masuk ke kraton sendirian menyelipkan senjatanya ke pinggang, Raja Gerindrawardhana sedang berada di taman yang tidak jauh dari keraton.
Melihat yang dicari ada di taman Uddara segera menuju ke sana dengan wajah yang sudah memerah menahan amarah di balik dadanya.
Baca Juga: Perjuangan Pangeran Gagak Sinangling 1: Tidak Tega Melihat Kewibawaan Kraton Majapahit Hancur dan Carut Marut
“Gerindrawardhana, kau sungguh raja yang tak tahu diri. Perjuangan ramaku yang dua puluh tahun membelamu akhirnya kau jatuhi pidana pati?”, kata Uddara mengacung-acungkan telunjuknya ke wajah sang raja.
“Uddara, sopan sedikit dong di hadapan raja! Bukankah aku Brawijaya ke VI?”.
Uddara tidak menjawab. Dia justru meloncat dengan loncatan panjang dan menjulurkan kaki kanannya ke arah dada.
Gerindrawardhana kaget dengan gerakan yang sangat cepat itu. Dengan segala pengalamannya berolah ilmu kanuragan Gerindrawardhana berusaha menghindari serangan mendadak itu
Namun agak terlambat kaki Uddara sempat mampir ke pundaknya. Akibatnya raja terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Uddara untuk menghujamkan senjatanya ke dada raja Majapahit yang berasal kerajaan Keling di sebelah timur Kediri itu.
"Dahulu dia bertahta di kerajaan Majapahit karena membunuh Kertabumi sekarang saatnyalah menerima balasan dariku, anak Ki Patih Mpu Tahan."
Uddara memandangi mayat Gerindrwardhana beberapa jenak. Kemudian dipanggilah para prajurit Majapahit untuk mengurus mayat itu.
Beberapa hari kemudian Uddara menobatkan diri sebagai raja Majapahit bergelar Brawijaya VII (1498-1518).
Beliau segera mengirim utusan ke Padepokan Panembahan Sajodho untuk menemui Pangeran Gagak Sinangling.
“Gajah Benawa, sekarang kamu aku utus menemui Pangeran Gagak Sinangling di padepokan Panembahan Sajodho. Katakan kepadanya bahwa aku sekarang naik tahta di kerajaan Majapahit menggantikan ramanya”, katanya memberi perintah.
“Sendika dawuh”, Gajah Benawa segera melaksanakan tugasnya.
Kali ini perjalanannya ditemani oleh Dipayana dan Durmagati, bagaikan anak panah lepas dari busurnya kuda-kuda
Mereka bertiga berlari sangat kencang menembus udara pagi yang cerah me- ninggalkan kotaraja Majapahit menuju ke Padepokan Panembahan Sajodho.
Setelah perjalanan dua hari mereka bertiga mulai memasuki hutan yang tidak begitu lebat dengan jenis pepohonan yang berbeda-beda.