harianmerapi.com - Pangeran Gagak Sinangling bersama Uddara rupanya telah menjalani pengembaraan yang cukup lama.
Perjalanan mereka berhenti untuk membantu Panembahan Sajadho dalam mengembangkan Padepokan sekaligus belajar ilmu agama dan kanuragan.
Suatua hari, senja mulai temaram, angin dingin menyapu wilayah pegunungan yang berbatu padas meski di bagian lembah tanah cukup subur dengan kehijaun daun-daun singkong, jagung, canthel dan lain-lain.
Baca Juga: Perjuangan Pangeran Gagak Sinangling 1: Tidak Tega Melihat Kewibawaan Kraton Majapahit Hancur dan Carut Marut
Menjelang malam Padepokan Panembahan Sajodho ketamuan dua orang lelaki yang mengaku sebagai saudara dari Uddara.
“Siapa kalian berdua ini?”, tanya Panembahan Sajodho ketika menemui mereka.
“Kami berdua dari Majapahit, Panembahan. Ini Wartajaya temanku dan aku sendiri Gajah Benawa. Kami berdua masih saudaranya Uddara ingin memberi kabar bahwa bapaknya Uddara jatuh sakit”, kata kedua tamu yang datang itu.
“Hmmmm, begitu? Ya ya ya!”, Panembahan Sajodho lalu menyuruh seorang cantrik memanggilkan Uddara.
Baca Juga: Perjuangan Pangeran Gagak Sinangling 2: Meninggalkan Majapahit Mengembara Mengikuti Arah Mahatari Terbenam
Ketika Uddara datang Panembahan Sajodho bertanya, “Betul kedua orang ini saudaramu dari Majapahit, Uddara?”.
“Betul, Panembahan. Ini memang tamu-tamu. Boleh aku ajak ke barak, Panembahan?”
“Silakan!”.
Mereka bertiga kemudian menuju ke barak yang berada di belakang bangunan induk. Bangunan barak itu memanjang dan disekat-sekat, masing-masing sekat dihuni oleh seorang atau dua orang cantrik.
“Uddara, kami berdua tidak tahu persis apa sebabnya. Tetapi kenyataannya kini patih Tahan dijatuhi hukuman mati setelah 20 tahun mengabdi kepada sang Raja Gerindrawardhana."
"Kami hanya bisa memberitahumu dan tidak mampu jika harus melawan sang raja”, kata Wartajaya nampak sedih.
“Huuuhh, kurang ajar benar, aku harus membalasnya”, gumam Uddara marah.
“Stststtt, sabarlah sedikit, Uddara!. Masalah ini jangan sampai didengar orang-orang Padepokan sini. Apalagi kamu datang ke sini bersama anaknya Gerindrawardhana kan?”, Gajah Benawa memperingatkan.
Uddara cuma bisa mengangguk-angguk, dadanya terasa begitu pepat mendengar berita yang membuat kemarahannya melonjak-lonjak.
Baca Juga: Perjuangan Pangeran Gagak Sinangling 4: Padepokan Diserang Pasukan Berkuda, Panembahan Sajodho Jadi Kembar
“Ya. Kita besuk berangkat ke Majapahit malam menjelang pagi”, kata Uddara.
“Kudaku sudah kau persiapkan?”, bertanya Uddara.
“Sudah. Kami membawa tiga ekor kuda”.
“Ya. Baiklah, aku temui dulu adi Pangeran Gagak Sinangling”, Uddara lalu meninggalkan kedua saudaranya.
Sekilas dipandanginya wajah Gagak Sinangling yang sedang duduk di lincak bambu dalam baraknya,
“Adi, aku besuk terpaksa pulang karena ramaku sakit dan kedua saudaraku menyusulku. Apakah adi mau ikut pulang atau tidak terserah saja”.
Baca Juga: Perjuangan Pangeran Gagak Sinangling 5: Ingin Belajar Ajian Panembahan Sajodho Kakang Kawah Adi Ari-ari
“Aku di sini saja, Kakang. Doaku semoga ramamu cepat sembuh”, jawab Pangeran Gagak Sinangling.
“Tetapi mungkin aku tidak akan meneruskan pengembaraan kita”, kata Uddara.
“Besuk aku lanjutkan sendiri. Selamat Jalan, Kakang. Semoga selamat sampai tujuan”. (Ditulis: Akhiyadi) *