harianmerapi.com - Uddara menjelaskan pada Pangeran Gagak Sinangling bahwa mereka harus berjalan lagi ke arah selatan kira-kira setengah hari.
Masih dibutuhkan perjuangan karena setelah sampai di sebuah Ngarai belok ke barat menyusuri jalan yang menurun. Nanti setelah matahari cukup rendah di arah barat akan menjumpai sebuah Paguron.
Pangeran Gagak Sinangling mengangguk-angguk, mereka terus berjalan ke arah selatan hutan di kanan kiri jalan setapak itu kian lama semakin lebat dengan aneka pepohonan dan perdu.
Binatang-binatang juga mulai banyak berkeliaran mencari makan atau mereka mendatangi sebuah pancuran yang airnya menggenang untuk minum.
Setelah setengah hari perjalanan mereka lalu membelok ke arah barat menyusuri jalan yang menurun berbatu-batu dan sampai saatnya senja hari tibalah mereka ke tempat tujuan.
“Wouw, apa-apaan itu?”. Uddara kaget mendapati bekas paguronnya ambruk. Agaknya ambruknya sudah beberapa bulan yang lalu menilik bambu-bambu cagaknya dan rapak-rapak atapnya sudah mulai di datangi ribuan rayap.
“Siapa di situ ya?”, terdengar suara orang tua menyapa dengan tanya.
Baca Juga: Perjuangan Pangeran Gagak Sinangling 2: Meninggalkan Majapahit Mengembara Mengikuti Arah Mahatari Terbenam
Uddara dan Pangeran Gagak Sinangling terperanjat karena suara tadi berasal dari bawah reruntuhan paguron atau pondok.
“Aku Uddara, Panembahan”.
“Uddara tolonglah aku, Nak!” pinta orang tua itu dengan suara terbata-bata.
Uddara dengan dibantu oleh Pangeran Gagak Sinangling bergegas mendekati arah suara dan segera membongkar bambu atau kayu-kayu yang menimpanya.
Orang tua itu ternyata diikat rantai besi sekujur tubuhnya dan ditidurkan di atas jerami. Uddara lalu memeras jambu air yang dibawanya, diteteskan ke mulut orang tua itu.
Baca Juga: Misteri Makam Keramat 3: Memutuskan untuk Bertapa, Terdengar Auman Harimau di Telinga
Sesudah beberapa tetes air jambu tadi masuk kekerongkongannya Panembahan Sajodho perlahan-lahan membuka matanya.
“Terima kasih Uddara atas pertolonganmu. Sesungguhnya aku sudah dua bulan teronggok di sini tanpa bisa berbuat apa-apa karena aku selalu dijaga prajurit Majapahit, tidak dibunuhku tapi dibiarkan tertimbun agar lama-lama aku mati. Prajurit-prajurit Majapahit itu baru kemarin sore meninggalkan tempat ini”.
“Hmmm, kejam benar mereka. Siapa prajurit Majapahit itu, Panembahan?”.
“Katanya mereka prajurit Majapahit dari Keling”.
Pangeran Gagak Sinangling terheran selama dua bulan teronggok di bawah reruntuhan bangunan dalam keadaan terikat rantai besi sama sekali tidak sakit hanya sedikit pucat.
Baca Juga: Misteri Bocah yang Bermain Kelereng dengan Mata Kosong di Rumah Panggung yang Lama Kosong
Setelah makan nasi pemberian bekal dari Pangeran Sinangling Panembahan tua itu sudah menjadi sehat kembali. Ini tentu tidak mungkin jika beliau bukan orang sakti yang berilmu tinggi.
Akhirnya Padhepokan itu didirikan kembali dan Pangeran Gagak Sinangling beserta Uddara berguru kepada Panembahan Sajodho.
Sebagian besar dari cantrik-cantrik yang dulu lari menjauh karena takut kepada prajurit Majapahit kini satu per satu sudah kembali lagi.
“Siapakah prajurit Majapahit dari Keling itu, kakang?”, tanya Pangeran Gagak Sinangling.
Uddara terdiam sejenak, “Aku tidak tahu pasti, mungkin para keturunan prajurit Jayakatwang dari Kediri yang hidup liar di hutan-hutan”.