“Kamu sudah menjadi sehat sekarang, Kakang?”, bertanya Kyai Talijiwa.
“Ramuan dan jejamuan darimu manjur sekali, Adi”, jawab Panembahan Trunajati.
“Kamu sudah kuat berjalan?”.
“Kepalaku sudah tidak pening lagi. Bahkan naik kuda pun aku sudah sanggup”.
“Agaknya kamu mengerti apa yang kupikirkan, Kakang?”.
“Maksudmu?”.
“Aku memang ingin mengajak kakang pergi berkuda”.
“Hmmm, kemana?”
Baca Juga: Sunan Amangkurat Mas 4: Perang Besar Pecah, Dada Surapati Diterjang Sebutir Peluru Kencana
“Mengantarkan surat dari Kanjeng Sinuhun susuhunan Pakubuwana I untuk Kanjeng Sunan Amangkurat Mas malam ini juga”.
“Wouw, apa ini bukan perjalanan yang membahayakan?”.
“Membahayakan sekali. Makanya yang kuajak adalah kakang Panembahan. Selain itu aku berharap mudah-mudahan Kanjeng Sunan Amangkurat Mas belum pangling kepada bekas prajurit pinilihnya semasa kekuasaan ramanya dulu”.
Panembahan Trunajati tersenyum, “Tidak mungkin tidak pangling. Aku ini tergolong orang yang cepat menjadi tua”, jawabnya.
Di bawah sinar rembulan malam itulah mereka berdua akhirnya berangkat dengan memacu kuda-kuda mereka yang berlari kencang menembus dinginnya malam.
Di langit bintang gubuk penceng nampak bersinar terang. Kyai Talijiwa lega menyaksikan bebintang penunjuk arah selatan itu. Berarti arah perjalanan menuju ke timur yang ditempuhnya tidaklah salah. (Ditulis: Akhiyadi) *