KARENA gentur dalam bersemedi Eyang Dipodrono menjadi orang yang memiliki kelebihan dalam olah kebatinan maupun olah kanuragan.
Sehingga nama Eyang Dipodrono makin lama makin termasyhur di kawasan lereng Gunung Sumbing ini, dan semakin banyak orang yang nyantrik atau berguru kepadanya.
Pada awalnya di dusun Krandegan ini hanya dihuni oleh tujuh kepala keluarga. Namun semakin lama jumlah warga di dusun Krandegan ini semakin bertambah dan berkembang dengan mata pencaharian utama sebagai petani sayur-mayur dan palawija.
Baca Juga: Mensyukuri Nikmat 16: Baru Terasa Setelah Ibu Tiada
Kemasyhuran Eyang Dipodrono sampai di dengar oleh orang luar daerah. Sehingga, pada suatu hari ada seorang wanita yang mencari tokoh Krandegan itu.
Ketika wanita itu sampai di dusun ini dan ditanya warga, dia mengaku seorang “tledhek” atau penari tayub dari daerah Yogyakarta. Dia ingin bertemu dengan Eyang Dipodrono untuk nyantrik, menimba ilmu kebatinan, olah seni dan olah kanuragan.
Namun, sebelum dia dapat bertemu dengan Eyang Dipodrono di padepokannya, wanita tledhek itu meninggal dunia. Jenazahnya oleh Eyang Dipodrono dan warga Krandegan dimakamkan di dusun itu.
Baca Juga: Misteri Gundul Pringis Gentayangan di Kali Tempukan
Sampai kini warga dusun ini tidak tahu, siapa sebenarnya tledhek atau penari tayub itu. Meski makam tledhek itu berada di dusun ini.
Usai memakamkan wanita tledhek itu, Eyang Dipodrono berpesan kepada warga dusun Krandegan yang kala itu penghuninya masih sebanyak dua puluh kepala keluarga.
“mBesuk yen pedunung dhusun iki cacahe wis ana patang puluh kepala somah supaya saben sasi Sapar ngadani Ruwat Bumi Merti Dhusun. Lan kanggo ngurmati tledhek mau sajrone Saparan merti dhusun kudu nanggap Tayuban,” pesan Eyang Dipodrono.
Baca Juga: Kejujuran Membawa Nikmat 30: Hidup Berkecukupan Namun Tak Suka Bermewah-mewah
(Kelak, bila penduduk dusun ini sudah berjumlah empat puluh kepala keluarga, supaya setiap bulan Sapar menyelenggarakan ‘Ruwat Bumi Merti Dusun’. Dan untuk menghormati penari tayub itu dalam Saparan harus menggelar Tayuban).
Setelah dusun itu warganya berjumlah empat puluh kepala keluarga, dilaksanakanlah acara ‘Saparan Merti Dusun’ dengan nanggap Tayuban.