HARIAN MERAPI - 'Bende Penantang' peninggalan zaman perang Diponegoro kini tersimpan di rumah Wardoyo, warga Kretek Borobudur.
Lantaran pada zaman Perang Diponegoro dulu bende tersebut digunakan sebagai sarana untuk menantang perang, sampai saat ini bende tersebut gema suaranya memiliki aura panas yang bisa membakar emosi orang untuk berperang atau berkelahi.
Mungkin, bende tersebut memang diisi kekuatan supranatural yang bersifat panas, yang pada zaman dahulu mampu membakar semangat para perajurit Pangeran Diponegoro dalam menghadapi musuh.
Wardoyo tidak menjelaskan, laku ritual apa yang harus dilakukannya dalam merawat Bende Penantang tersebut.
Daerah sekitar Borobudur dan lereng Pegunungan Menoreh pada masa Perang Diponegoro merupakan ajang perang gerilya laskar Pangeran Diponegoro.
Sehingga serdadu penjajah Belanda sangat memperhatikan setiap gerak-gerik perajurit Pangeran Diponegoro.
Dalammenghadapi gerilyawan laskar Pangeran Diponegoro, serdadu Belanda menerapkan taktik perang Benteng Stelsel.
Taktik ini dengan mempersempit ruang gerak perajurit Pangeran Diponegoro dengan mendirikan pos-pos pengawasan dan benteng-benteng.
Bukti dari kesiapsiagaan serdadu penjajah Belanda dalam mengawasi lasykar Pangeran Diponegoro adalah dengan mendirikan sebuah Pos Gardu Pengawasan di desa Ringinputih, wilayah Borobudur.
Gardu ini sampai sekarang masih berdiri dan berada di tepi jalan jurusan Borobudur – Salaman.
Dan di dusun Beteng wilayah Salaman ada sisa sisa benteng peninggalan jaman Perang Diponegoro.
Di samping bende, Wardoyo, seorang pensiunan guru SMP, juga menyimpan senjata tradisional gada galih asem.