haranmerapi.com - Setiap orang pasti memiliki harapan; harapan untuk hidup bahagia, sejahtera, dan terhormat.
Kita berharap bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, bisa terhindar dari penderitaan, kemiskinan dan kebodohan.
Kita berharap dapat menjadi pegawai yang berdedikasi tinggi dan berprestasi, dapat menjadi muslim yang taqwa, selalu beramal shaleh, berakhlak mulia (akhlaq al-karimah) dan menjalankan amar ma'ruf dan nahi munkar.
Dan masih banyak lagi harapan yang semua itu menunjukkan keadaan yang lebih baik daripada sekarang.
Kehidupan dunia yang sekarang kita alami adalah saat yang tepat untuk menabur berbagai harapan sebagaimana di atas. Layaknya sepetak tanah, dunia adalah tempat menanam, dan harapan itu adalah laksana benih.
Karena itu, untuk dapat panen, maka kita harus mau dan mampu menabur benih. Siapapun yang semakin banyak menabur benih, maka semakin banyak ia berkesempatan untuk
panen.
Siapa yang banyak menanam akan banyak mengetam, begitulah kira-kira sunatullah dalam kehidupan. Hanya persoalannya, seringkali kita lupa, bahwa harapan itu dapat menimbulkan berbagai perilaku.
Pertama, orang yang mempunyai harapan, tetapi tidak dibarengi dengan kemauan dan kemampuan melakukan usaha untuk mewujudkan harapan itu.
Baca Juga: Pemimpin yang Zalim 28: Saat Hidup Disia-siakan, Merasa Kehilangan Setelah Orangnya Meninggal
Akibatnya, harapan itu mendorong orang melakukan potong kompas atau jalan pintas. Maunya cepat kaya dan terhormat, tetapi tidak mau bekerja keras.
Lantas, muncullah sifat jahatnya, yaitu merampas hak milik orang lain dengan cara mencuri, korupsi dan sebagainya. Mau cepat menjadi sarjana, tetapi tidak mau belajar keras.
Lantas, potong kompas. Yang penting punya uang, maka skripsi sebagai karya puncak untuk menjadi sarjana cukup dengan dibeli atau ditenderkan kepada orang lain.
Kedua, orang yang mempunyai harapan dan dibarengi dengan kemauan dan kemampuan melakukan usaha untuk mewujudkan harapannya itu. Perilaku yang seperti ini juga akan melahirkan dua kemungkinan, yaitu berhasil atau gagal.
Dalam pandangan Islam, berhasil ataukah gagal harus tetap disyukuri. Tetapi, kita sering lupa, ketika berhasil kita menjadi sombong (takabur) dan berlebih-lebihan.