Menanam Harapan di Bulan Penuh Keberkahan

photo author
- Jumat, 15 April 2022 | 03:30 WIB
Dr. H. Khamim Zarkasih Putro, M. Si. (Dok. Pribadi)
Dr. H. Khamim Zarkasih Putro, M. Si. (Dok. Pribadi)

haranmerapi.com - Setiap orang pasti memiliki harapan; harapan untuk hidup bahagia, sejahtera, dan terhormat.

Kita berharap bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, bisa terhindar dari penderitaan, kemiskinan dan kebodohan.

Kita berharap dapat menjadi pegawai yang berdedikasi tinggi dan berprestasi, dapat menjadi muslim yang taqwa, selalu beramal shaleh, berakhlak mulia (akhlaq al-karimah) dan menjalankan amar ma'ruf dan nahi munkar.

Baca Juga: Ulama Ageng Ngerang dan Kesultanan Mataram 8: Semula Makamnya Tak Diketahui karena Berada di Pemakaman Umum

Dan masih banyak lagi harapan yang semua itu menunjukkan keadaan yang lebih baik daripada sekarang.

Kehidupan dunia yang sekarang kita alami adalah saat yang tepat untuk menabur berbagai harapan sebagaimana di atas. Layaknya sepetak tanah, dunia adalah tempat menanam, dan harapan itu adalah laksana benih.

Karena itu, untuk dapat panen, maka kita harus mau dan mampu menabur benih. Siapapun yang semakin banyak menabur benih, maka semakin banyak ia berkesempatan untuk
panen.

Siapa yang banyak menanam akan banyak mengetam, begitulah kira-kira sunatullah dalam kehidupan. Hanya persoalannya, seringkali kita lupa, bahwa harapan itu dapat menimbulkan berbagai perilaku.

Pertama, orang yang mempunyai harapan, tetapi tidak dibarengi dengan kemauan dan kemampuan melakukan usaha untuk mewujudkan harapan itu.

Baca Juga: Pemimpin yang Zalim 28: Saat Hidup Disia-siakan, Merasa Kehilangan Setelah Orangnya Meninggal

Akibatnya, harapan itu mendorong orang melakukan potong kompas atau jalan pintas. Maunya cepat kaya dan terhormat, tetapi tidak mau bekerja keras.

Lantas, muncullah sifat jahatnya, yaitu merampas hak milik orang lain dengan cara mencuri, korupsi dan sebagainya. Mau cepat menjadi sarjana, tetapi tidak mau belajar keras.

Lantas, potong kompas. Yang penting punya uang, maka skripsi sebagai karya puncak untuk menjadi sarjana cukup dengan dibeli atau ditenderkan kepada orang lain.

Kedua, orang yang mempunyai harapan dan dibarengi dengan kemauan dan kemampuan melakukan usaha untuk mewujudkan harapannya itu. Perilaku yang seperti ini juga akan melahirkan dua kemungkinan, yaitu berhasil atau gagal.

Dalam pandangan Islam, berhasil ataukah gagal harus tetap disyukuri. Tetapi, kita sering lupa, ketika berhasil kita menjadi sombong (takabur) dan berlebih-lebihan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Swasto Dayanto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

'Ke-Empu-an' perempuan dalam Islam

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:00 WIB

Doa-doa mustajab dalam Al-Quran dan Al-Hadits

Sabtu, 20 Desember 2025 | 17:00 WIB

Pesan-pesan Al-Quran tentang menjaga kesehatan jiwa

Jumat, 19 Desember 2025 | 17:00 WIB

Tasamuh dalam beragama

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:00 WIB

Keutamaan membaca dan tadabbur Al-Quran

Selasa, 16 Desember 2025 | 17:00 WIB

Manajemen hati untuk raih kebahagiaan sejati

Senin, 15 Desember 2025 | 17:00 WIB

Tujuh kunci masuk ke dalam pintu Surga-Nya

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:00 WIB

Peran orang tua dalam pembentukan generasi berkualitas

Sabtu, 13 Desember 2025 | 17:00 WIB

Lima pinsip dasar perlindungan HAM dalam Islam

Kamis, 11 Desember 2025 | 17:00 WIB

Keutamaan berlomba-lomba dalam kebaikan dan ketakwaan

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:00 WIB

HAM dalam perspektif Islam

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:00 WIB

Membangun keluarga samara dalam Al-Quran dan Sunnah

Sabtu, 6 Desember 2025 | 17:00 WIB

Sepuluh sifat istri shalehah pelancar nafkah suami

Kamis, 4 Desember 2025 | 17:00 WIB

Rahasia keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW

Sabtu, 29 November 2025 | 17:00 WIB

Sembilan kekhasan dan keunikan masa remaja

Jumat, 28 November 2025 | 17:00 WIB
X