Sementara ketika harapan itu pupus dan harus mendapatkan kegagalan, seseorang akan menjadi putus asa, putus harapan.
Sebagaimana firman Allah SWT: "Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan" (QS. Fushilat, 41:28).
Demikian pentingnya untuk menanam harapan dan bekerja untuk mewujudkan harapan itu, maka Allah SWT menegaskan: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri (jiwa) memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan". (QS. Al-Hasyr, 59:18).
Baca Juga: Cerita Hidayah, Lalai dalam Hal Waktu Maka Rezeki yang Sudah di Depan Mata pun Menjauh
Melalui ayat ini, orang-orang beriman diajak untuk melihat masa depan, masa yang akan kita lewati dan akan kita tuju. Mengapa demikian? Karena hidup ini tidak pernah berhenti.
Hidup ini terus berjalan, yaitu berjalan menuju satu titik yang namanya kematian, dan pada akhirnya menuju kekekalan abadi, yaitu kampung akhirat. Dan inilah masa depan yang paling pasti dan akan dialami semua orang.
Karena itu, setelah seseorang menabur harapan, maka perlu dibarengi dengan komitmen untuk bekerja keras, disiplin dan do’a. Setelah upaya dilakukan secara maksimal, apapun hasilnya, bertawakkallah kepada Allah SWT.
Tawakal merupakan bingkai yang akan menjaga panen yang didapatkan itu tetap berkah, memberi manfaat bagi kehidupan pribadinya dan memberikan kemaslahatan kepada banyak orang.
Baca Juga: Seleksi Calon Rektor UGM Segera Dimulai dan Terbuka untuk Umum
Ujian hidup laksana tanah yang subur dan luas untuk menabur benih-harapan sebanyak-banyaknya. Energi bisa tetap stabil untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan yang dapat meningkatkan kapasitas personal (personal capability).
Pembiasaan untuk sensitif dan empati atas segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita selama beraktifitas, merupakan jawaban atas kondisi krisis sekarang ini.
Para ahli hikmah menyatakan bahwa orang yang paling bahagia adalah orang yang mempunyai harapan. Sebab, dengan harapan itu, seseorang akan selalu merasa optimis, bermakna, dan jalan menuju kesuksesan terbentang luas di hadapannya.
Ia akan selalu bersemangat, energik, kreatif dan inovatif menciptakan karya-karya baru. Dan sebaliknya, orang yang paling nista atau paling sengsara adalah orang yang tidak lagi memiliki harapan. Orang yang hidup tanpa harapan, seperti orang yang tidak menanam apa-apa, maka ia tidak ada kesempatan untuk memetik hasil panen apapun.
Karena itu, orang yang tanpa harapan, hidupnya tidak ada energi yang menggerakkan untuk melakukan sesuatu. Ia menjadi pemurung, pemalas, pemimpi, dan akhirnya hidupnya blank, kosong tanpa makna. *