KONTROVERSI seputar Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No 30 Tahun tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, selanjutnya disebut Permendikbud PPKS, masih terjadi di masyarakat.
Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mendesak kepada pemerintah agar segera mencabut atau merevisi peraturan tersebut, karena dinilai bertentangan dengan syariat agama, Pancasila dan UUD 1945, sejauh ini belum ada tanda-tanda bakal ada perubahan.
Bahkan, Mendikbudristek Nadiem Makarim yakin bahwa aturan yang dikeluarkannya bermanfaat untuk mencegah kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Pendapat Mendikbudristek juga banyak mendapat dukungan pelbagai kalangan.
Baca Juga: 6 Kiat Hindari Pinjol Ilegal, Kenali Ciri-cirinya
Lantas, sedemikian mudahkah mengabaikan ijtima Komisi Fatwa MUI yang jelas-jelas tidak setuju Permendikbud PPKS hingga mendesak agar aturan itu dicabut atau direvisi ? Publik tentu tak terlalu sulit untuk menyimpulkannya.
Apalagi, Komisi Fatwa itu terdiri atas orang-orang yang kredibel dan kompeten dalam bidangnya, baik dari kalangan ulama, cendekiawan, pesantren, perguruan tinggi maupun ormas keagamaan.
Sekadar mengingatkan, muara persoalan sebenarnya berawal dari muatan Pasal 5 ayat (2) huruf l dan m Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, yang meliputi:
Baca Juga: Pemerintah Berencana Audit LSM, MAKI Sangat Mendukung Sebagai Bentuk Kontrol
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan
bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.
m. membuka pakaian korban, tanpa persetujuan korban.