Muhammadiyah Kritik Permendikbud PPKS yang Legalkan Seks Bebas Berbasis Persetujuan

photo author
- Senin, 8 November 2021 | 13:45 WIB
Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Prof Lincolin Arsyad,Ph.D (tengah) saat membuka Rakornas PTM/PTM dilanjutkan penandatangan kerjasama "Muhamadiyah Online University (MOU)" yang berlangsung di kampus Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. ( ANTARA/Lab.Komunikasi FISIPOL UMPR.)
Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Prof Lincolin Arsyad,Ph.D (tengah) saat membuka Rakornas PTM/PTM dilanjutkan penandatangan kerjasama "Muhamadiyah Online University (MOU)" yang berlangsung di kampus Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. ( ANTARA/Lab.Komunikasi FISIPOL UMPR.)

 


JAKARTA, harianmerapi.com - Permendikbudristek No 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) dinilai memiliki masalah formil dan materiil.


Penilaian tersebut disampaikan Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof H Lincolin Arsyad dalam keterangan tertulisnya diterima di Jakarta, Senin (8/11/2021).

“Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya. Tidak terpenuhinya asas keterbukaan tersebut terjadi karena pihak-pihak yang terkait dengan materi Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak dilibatkan secara luas, utuh, dan minimnya informasi dalam setiap tahapan pembentukan,” ujar Lincolin.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Besok di Jogja Selasa 9 November 2021, Jogja Gerimis dan Cerah Berawan di Jam Ini

Dia menambahkan hal itu bertentangan dengan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan menteri) harus dilakukan berdasarkan asas keterbukaan.

Selain itu, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak tertib materi muatan karena terdapat dua kesalahan materi muatan yang mencerminkan adanya pengaturan yang melampaui kewenangan.

“Pertama, aturan itu mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undang- undang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional. Kedua, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi,” terang dia.

Baca Juga: Presiden: Indonesia Capai Babak Baru, Suntikkan 200 Juta Dosis Vaksin kepada Masyarakat

Selanjutnya masalah materiil, pasal satu angka satu yang merumuskan norma tentang kekerasan seksual dengan basis “ketimpangan relasi kuasa” mengandung pandangan yang menyederhanakan masalah pada satu faktor, padahal sejatinya multikausa, serta bagi masyarakat Indonesia yang beragama, pandangan tersebut bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan laki-laki dan perempuan dalam relasi “mu’asyarah bil-ma’ruf” (relasi kebaikan) berbasis ahlak mulia.

Kemudian, perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa ”tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent)”.


“Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan," ujarnya.

Baca Juga: Indonesia Masuk Daftar Negara yang Bisa Masuk Thailand Tanpa Karantina


"Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah,” kata dia lagi.


Pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta legalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan tersebut, bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Sumber: Antara

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Ada jaksa yang ditangkap dalam OTT KPK di Banten

Kamis, 18 Desember 2025 | 15:15 WIB
X