SEPAKBOLA harusnya jadi media menyatukan. Namun yang terjadi kadang justru sebaliknya. Rivalitas suporter kadang dipandang secara berlebihan. Jadinya tak realistis dan berakhir anarkhis. Di mana pun, saat melihat tim yang dianggap rival, diserang tanpa alasan jelas.
Kasus terbaru adalah pelemparan bus tim Arema FC di sebuah hotel di Yogya pekan lalu. Bus tim itu dilempari dengan batu hingga pecah di bagian kaca. Pelaku pelemparan adalah oknum suporter tim yang dianggap rival.
Pelaku ternyata masih bocah. Usianya pun belasan tahun. Jelas jika dia adalah korban fanatisme buta. Tak realistis dan cenderung hanya ikut-ikutan. Dia tak sadar apa yang bakal terjadi dan efek yang ditimbulkan.
Sebab, jika dia tak tertangkap, pasti dugaan mengarah ke mana-mana. Bisa saja menimbulkan fitnah bagi suporter tim yang lain.
Baca Juga: Bus Arema FC Dilempar Batu di Jogja, Pelaku Remaja 15 Tahun Asal Sidoarjo
Soal rivalitas suporter memang jadi semacam tradisi di sepakbola Indonesia. Namun, kadang rivalitas dipandang salah.
Diartikan berlebihan dan bahkan tak masuk akal. Rivalitas bisa melebihi tim itu sendiri dan sportivitas yang dibangun di lapangan.
Siapa yang salah, jelas tak ada yang mau mengakui. Memang tak perlu mencari kesalahan. Yang harus dilakukan adalah memberatas pola pikir rivalitas tanpa batas itu.
Klub, kelompok suporter hingga pemain itu sendiri bisa berperan memerangi rivalitas tanpa batas ini.
Baca Juga: Bus Arema FC Dilempari Batu di Jogja, Manajemen Minta Aremania Menahan Diri Tak Terprovokasi
Klub tak salah menghukum suporternya sendiri yang bikin ulah dan dianggap merugikan. Kelompok suporter bisa saja menertibkan anggotanya dengan tegas.
Jika perlu dipecat dari anggota jika ketahuan merugikan. Dan pemain harus menujukkan sikap yang sportif di lapangan untuk memberi contoh pada suporter.
Jangan sampai liga sepakbola yang sudah susah payah digulirkan kembali terhenti akibat ulah bocah yang hanya ikut-ikutan.*