PUNGUTAN liar atau pungli sepertinya sudah membudaya di masyarakat kita. Hampir di semua sektor ada pungli. Bila itu terjadi di instansi pemerintah, acap pemerintah menyebutnya sebagai oknum.
Padahal, yang namanya oknum pasti jumlahnya sedikit. Bila banyak, apalagi sistematis dan terorganisir, bisakah disebut oknum ? Nampaknya masih perlu didiskusikan lebih lanjut.
Menkopolhukam Prof Mahfud MD saat berada di Yogya baru-baru ini tidak menepis keberadaan pungli. Bahkan ia mengatakan, praktik pungli merata dari atas sampai bawah.
Baca Juga: Cegah Gelombang Ketiga Covid-19, Pemerintah Dinilai Cukup Responsif
Ada yang menganggap pungli sebagai hal yang wajar dalam pelayanan publik. Mengingat hal itulah Mahfud berpandangan masih perlu dibentuk Satgas Pungli.
Pengakuan Mahfud tentu sangat menarik, karena dia adalah pejabat negara yang punya kewenangan untuk membuat regulasi sekaligus menetapkan mekanisme penjatuhan sanksi di samping yang sudah tertera di peraturan perundang-undangan. Lebih miris lagi, Mahfud mengakui pungli juga terjadi di kementerian hingga level RT/RW.
Pungli adalah fakta yang tak terbantahkan dan diakui sendiri oleh Mahfud. Persoalannya, mengapa sampai saat ini sulit diberantas ? Atau jangan-jangan lembaga yang diberi kewenangan memberantas pungli justru terlibat pungli ? Entahlah, yang jelas, perang melawan pungli harus terus dilancarkan.
Baca Juga: Aplikasi PeduliLindungi Berpotensi Raih Untung Jika Jadi Alat Pembayaran Digital
Memberantas pungli tak cukup hanya melalui slogan atau imbauan, melainkan harus melalui aksi nyata. Biasanya, pungli akan muncul di keremangan, di area yang abu-abu, baik itu dijumpai di peraturan perundangan atau tahap pelaksanaan. Jadi sangat mungkin, regulasi yang tidak jelas atau tidak tegas, membuka peluang munculnya pungli maupun korupsi.
Benar bila pungli itu ada di level atas atau maupun bawah. Kita tak perlu susah-susah mencari contoh di Yogya, misalnya pungli di tempat parkir. Sangat mudah untuk menemui jukir yang menarik ongkos tidak sesuai dengan tarif resmi parkir. Dengan alasan apapun, kelebihan ongkos pembayaran parkir itu masuk kategori pungli karena tidak resmi.
Acap kita mengalah, daripada ribut, ketika ditarik ongkos di atas tarif resmi. Itu hanya sekadar contoh kasus kecil yang sangat kasat mata alias terang benderang dan mudah dibuktikan. Kita tentu mengapresiasi langkah pemerintah daerah yang menindak jukir nakal yang mengutip tarif tak sah.
Baca Juga: Inilah Bahayanya Merokok di Dalam Mobil
Sayangnya, upaya paksa itu (berupa pembayaran denda) tidak membuat mereka jera, sehingga kasus pungli terus berulang sampai sekarang. Nah, bagaiman pungli di level atas, tentu lebih mengerikan. (Hudono)