SANGAT bisa dimaklumi bila Tukijan (58) anggota polisi warga Salak Malang Banjarharjo Kalibawang Kulonprogo meradang lantaran perempuan yang dilamar untuk putranya Februari lalu malah menikah dengan pria lain. Hati semakin ‘nggondok’ karena ia telah menyerahkan uang mahar Rp 10 juta dan berbagai perhiasan yang nilainya sekitar Rp 7,5 juta, untuk melamar gadis buat putranya.
Orang tua gadis sama sekali tidak memberitahu pada Tukijan bahwa putrinya telah dinikahkan dengan pria lain. Tukijan pun meminta agar uang maharnya dikembalikan, namun tak pernah dipenuhi, hingga akhirnya masalah dibawa ke kantor polisi. Tukijan secara resmi melapor kejadian yang dialaminya ke Polres Kulonprogo. Kasus ini masih didalami kepolisian.
Boleh dibilang ini peristiwa yang fenomenal. Langkah Tukijan yang notabene seorang polisi dan lapor pula ke polisi sudah tepat. Soal apakah di dalamnya ada indikasi pidana atau tidak, sepenuhnya menjadi kewenangan kepolisian. Tentu tidak ada perlakuan yang berbeda dalam menangani kasus ini, entah itu menimpa polisi atau bukan.
Kasus di atas nampaknya jarang terjadi di masyarakat. Kiranya perlu menjadi kajian hukum, apakah ada unsur pidana dalam peristiwa tersebut. Pada prinsipnya, Tukijan telah dirugikan atas perbuatan orangtua perempuan yang dilamar, karena tidak memberitahu bakal menikah dengan pria lain.
Terlepas apakah pemberian mahar itu dilekati perjanjian tertulis atau tidak, tetap saja pihak orangtua perempuan telah ingkar janji. Sebab, setelah menerima mahar, mestinya orangtua perempuan memberi tahu apakah lamarannya diterima atau ditolak. Logikanya, kedua belah pihak sudah berembuk dan sudah ada kesepakatan untuk menerima lamaran, sehingg mahar pun diberikan.
Saat terjadi kesepakatan, meski tidak tertulis, itu sudah berlaku sebagai perjanjian. Sebab, perjanjian dianggap sah ketika kedua belah pihak mencapai kata sepakat, baik menyangkut barang, jasa atau apapun sepanjang tidak melanggar undang-undang. Kesepakatan juga bisa dilakukan secara diam-diam, tanpa diungkapkan. Contoh kecil, ketika kita duduk di kursi barber shop, maka meski tidak diutarakan, telah terjadi kesepakatan untuk potong rambut atau perawatan rambut.
Baca Juga: Kartu Prakerja Jangkau 10,6 Juta Penerima Manfaat, Yang Belum Buruan Ndaftar
Kasus di atas, lebih mengarah pada aspek keperdataan, sehingga penyelesaiannya pun diarahkan ke perdata. Sebenarnya, Tukijan bukan hanya mengalami kerugian material berupa uang yang telah ia keluarkan, melainkan juga moril, karena harus menanggung rasa malu lantaran anaknya gagal menikah dengan gadis yang ia lamar.
Alangkah baiknya kasus ini diselesaikan secara musyawarah kekeluargaan, dan bisa pula menggunakan mediator untuk membantu menyelesaikan masalah. (Hudono)