SUDAH menjadi rahasia umum, jutaan data pribadi WNI diduga bocor. Polri pun terus menyelidiki kasus kebocoran data pribadi. Seperti pernah marak dalam pemberitaan media, kebocoran data antara lain terjadi di BPJS Kesehatan.
Sebenarnya, kebocoran data pribadi bukanlah fenomena baru, bahkan sudah berlangsung cukup lama. Sekadar menyebut contoh sederhana, kita dibuat terkejut ketika ada seseorang menghubungi nomor HP kita dan menawarkan sejumlah produk.
Pertanyaannya, dari mana mereka mendapatkan data kita, baik no telepon maupun alamat rumah. Kecurigaan langsung mengarah ke lembaga yang punya akses menyimpan data pribadi kita.
Baca Juga: Waspada Penipuan Berbasis Rekayasa Sosial Incar UMKM, Kenali Modusnya
Celakanya, orang yang memanfaatkan data kita untuk kepentingan bisnis atau kepentingan apapun, tak pernah mendapat sanksi hukum. Akibatnya pelanggaran hak pribadi itu terus berlangsung hingga saat itu.
Sekadar menyegarkan ingatan, isu kebocoran data meledak setelah ditemukan dugaan 279 juta data pribadi WNI bocor. Jumlah ini tidak main-main karena sangat banyak dan sebagian besar milik aparatur sipil negara (ASN). Untuk itulah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mendesak agar DPR dan Pemerintah segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi.
Pertanyaannya, apakah selama ini tidak ada perlindungan terhadap data pribadi? Secara aturan sebenarnya ada, yakni tertuang dalam UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hanya saja dalam undang-undang tersebut tidak ada sanksi yang tegas terhadap mereka yang menyalahgunakan atau meretas data pribadi orang lain.
Padahal, sebagaimana disebut dalam Pasal 26 UU ITE, setiap orang yang memanfaatkan atau menggunakan data pribadi orang lain harus sepengetahuan atau seizin pemilik data. Artinya, orang tidak bisa begitu saja mencomot data pribadi tanpa izin pemiliknya.
Sayangnya, UU ITE nampaknya lebih banyak digunakan untuk meredam suara kritis terhadap pemerintahan. Sudah banyak contoh, mereka yang mengkritisi kebijakan pemerintah dituduh menghina, mencemarkan nama baik dan sebutan sejenis lainnya hingga berujung ke bui.
Baca Juga: Persiapan Re-opening, Dinpar DIY Beri Pendampingan Desa Wisata di 5 Kabupaten dan Kota
UU ITE telah diterapkan secara salah kaprah. Padahal tujuan utama diadakan UU ITE untuk mengatur transaksi elektronik, secara online. Sementara delik penghinaan atau pencemaran nama baik telah diatur dalam KUHP. Untuk itu, Presiden Jokowi telah membuka kran agar UU ITE direvisi bila menciptakan ketidakadilan dan merugikan masyarakat. (Hudono)