Oleh: Sudjito Atmoredjo*
APAKAH ada suatu kekhususan dan keunggulan di bidang hukum pada bulan Ramadhan? Pertanyaan ini dikemukakan agar sedari awal direnungkan hakikat manusia sebagai subjek hukum dan perilakunya, ketika kesempatan emas untuk menjadi orang bertaqwa dibuka lebar oleh Allah SWT.
Hukum itu sudah ada sejak awal kehidupan manusia. Dicipta langsung oleh Allah SWT sebagai rambu-rambu kehidupan agar perilakunya senantiasa sesuai dengan kehendak-Nya. Bila rambu-rambu itu ditaati, pastilah kebahagiaan menyertainya. Sebaliknya, bila hukum dilanggar - sekecil apapun pelanggaran itu – pasti adzab (sanksi) ditimpakan kepada pelakunya. Sejak saat itu, manusia telah diberi petunjuk, sekaligus kebebasan. Pilihan, terserah pada manusia, dengan segala konsekuensinya.
Pada ranah kebangsaan, entah bulan ramadhan ataukah bulan-bulan lainnya, ternyata pelanggaran hukum sangat banyak. Permasalahan hukum di negeri ini sangat akut. Dari korupsi, pencucian uang, pamer kekayaan, hingga tega menganiaya, bahkan membunuh orang lain, menjadi realitas masif di berbagai lapisan sosial.
Baca Juga: Masjid Syuhada Ditetapkan Sebagai Masjid Agung Kota Yogyakarta
Pada lapisan sosial tinggi, seseorang sebagai pejabat, sebelum dilantik pasti disumpah terlebih dulu. Sumpah itu diucapkan dengan penuh percaya diri seolah menjadi garansi untuk tidak berdusta, dan tidak melanggar hukum. Benarkah demikian? Ketika diwaktu lain, ternyata perilakunya bertolak-belakang dengan sumpahnya, baru terkuak ternyata pada pejabat yang bersangkutan ada kedustaan.
Ketika kedustaan merebak dan kejujuran semakin langka, maka keadilan dan kebenaran hadir sebagai mimpi di siang bolong. Keadilan dan kebenaran sering diukur hanya dengan kepentingan. Keadilan dan kebenaran menjadi kabur dan manipulatif.
Di ranah hukum klasik, keadilan dan kebenaran itu merupakan saripati hukum. Sayang, ketika kehidupan memasuki zaman modern, hukum (pasal dan ayat) ditafsir secara subjektif melalui logika jungkir balik. Padahal keadilan dan kebenaran hakiki terpulang pada Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Benar (Al haqqu mir rabbika fa laa takuunanna minal mumtarin, QS.2:147).
Perilaku sebagian anak-cucu Adam memang sering naif. Tidak henti-hentinya mengubur kejujuran, keadilan, dan kebenaran, serta-merta menggantinya dengan kefasikan. Korupsi, pencucian uang, dan kejahatan lainnya, kian merajalela dilakukan oknum pejabat.
Baca Juga: Ditjen Pajak Terima 12,02 Juta SPT Tahun 2022 Per 31 Maret 2023
Ditelisik secara mendalam, sebab utamanya karena penyakit wahn (cinta dunia) merasuk dalam jiwa dan raganya. Mereka tak lagi ingat (ingkar) terhadap petunjuk-Nya dan tidak lagi menjadikan Nabi sebagai panutannya.
Padahal, betapa elegannya, para Nabi memberikan keteladanan tentang kejujuran, keadilan, dan kebenaran. Beliau jujur, adil, dan senantiasa berada dalam kebenaran. Akhlak Nabi yang termanifestasikan dalam pemikiran, perkataan, maupun perilaku keseharian, senantiasa bersandar pada kitab suci. Tidak ada perbedaan antara ucapan dan perilaku.