opini

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (dok pribadi)

Kedua, para pelaku kejahatan berupaya untuk membebaskan diri dari jeratan hukum, antara-lain dengan jalan menyuap hakim. Suap-menyuap (risywah) itu dilarang/haram. Suap-menyuap adalah perilaku nista, tercela, jahat, termasuk dosa besar. “Allah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam hukum.” (HR. Ibnu Hibban)

Praktik menyuap hakim, memiliki dampak sangat luas dan merusak. Tidak hanya merugikan pihak-pihak berperkara, tetapi juga merusak tatanan sosial dan ekonomi. Korupsi di bidang peradilan, dapat memicu ketidakstabilan politik, melemahkan investasi, dan memperparah kesenjangan sosial.

Pertanyaan mendasar, mengapa di negeri ini, pencarian harta haram oleh para koruptor, dan upaya penyuapan untuk pembebasan diri, sulit/gagal diberantas? Sungguh tidak mudah menjawab secara tuntas atas pertanyaan ini. Namun, dalam perspektif sosiologi hukum, ada beberapa kaidah yang layak diperhatikan.

Baca Juga: Banggar DPR RI usulkan tiga skema alternatif Program MBG, begini rinciannya.....

Pertama, nilai-nilai persahabatan (solidarity) semakin memudar, serta-merta tergantikan nilai-nilai individual (egois). Itu semua, berarkar pada struktur sosial yang sudah berubah - dari pola keterhubungan sebagai saudara/sahabat, menjadi terpisah-pisah, terkotak-kotak, menjadi kelompok-kelompok pesaing/lawan/predator. Akibatnya, setiap komponen bangsa menjadi sedemikian mudah terlibat konflik, dan gemar membawa penyelesaiannya ke pengadilan. Kalah atau menang, adalah resultante (cidera lahir-batin), sekaligus retaknya keharmonisan kehidupan bersama.

Kedua, bangsa ini oleh para politisi, oligarkhi, dan geng-geng pendukungnya, digiring, dijebak, dan ditaklukkan melalui skema berhukum secara formal/prosedural, tanpa peduli esensi/substansinya. Dalam segala urusan, dicarikan pembenarannya (justification) atas dasar skema tertutup, yakni perundang-undangan, yang notabene produk politik. Segala pembelaan rakyat dengan nilai-nilai etika/moral/akhlak, akan mentok (tak berdaya) ketika hukum posistif diunggulkan berlaku.

Sepakat atau tidak, izinkan saya menyatakan bahwa budaya hukum persahabatan di kalangan elite di negeri ini, nyaris punah. Tradisi jahiliah, berupa persengkokolan, kejahatan terstruktur, masif, dan laten, terus berkembang. Masih adakah peluang bagi bangsa ini memiliki pimpinan yang bersahabat dengan rakyat, jujur, amanah, adil, dan beradab? Wallahu’alam.*

 

* Guru Besar pada Sekolah Pasca Sarjana UGM

Halaman:

Tags

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB