Budaya Hukum Persahabatan

photo author
- Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (dok pribadi)
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (dok pribadi)

Oleh: Sudjito Atmoredjo*

Satjipto Rahardjo (2009) memandang hukum bukan hanya sebagai kumpulan peraturan semata, melainkan sebagai fenomena perilaku manusia. Perilaku menjadi titik fokusnya. Dasarnya adalah nilai-nilai yang hidup dan menyatu dalam kehidupan masyarakat. Tujuannya, untuk mencapai keadilan, kesejahteraan, serta kebahagiaan bersama.

Dengan menggaris-bawahi pendapat Menski (2006), diikatakan pula, meskipun kini, kehidupan sudah berada pada tahap globalisasi, namun tiadalah uniformasi sistem hukum dalam skala global. Dalam skala lokal, nasional, regional, hingga global, pasti ada “culturally spesific”. Itulah, maka pemikiran tentang “globality-conscious” mesti berkelindan dengan “plurality-conscious”, dan “plurality-sensitive”.

Dalam konteks hukum sebagai perilaku itu, sungguh bahagia, ketika seseorang berkenan mengingatkan tentang pentingnya menjalani kehidupan ini senantiasa berada pada kebenaran. Itulah persahabatan sejati (genuine friendship). Suatu persahabatan yang sarat dengan nilai-nilai kasih-sayang. Kebahagiaan orang lain, identik dengan kebahagiaan sendiri. Tak ingin sahabatnya menderita, karena salah/sesat jalan yang dilaluinya.

Baca Juga: Datangi Polda DIY, Ratusan Elemen STAK Serukan Tolak Anarkisme

Persahabatan sebagai perilaku sosial, berlangsung lintas: suku, agama, ras, dan antar-golongan, demi terwujudnya kesejahteraan lahir-batin bersama. Persahabatan merupakan energi positif, sekaligus perajut kemajemukan bangsa. Itulah budaya-hukum adhi luhung, yang dulu kita banggakan, tetapi kini semakin langka.

Demi mantapnya persahabatan, sering ada campur-tangan, cawe-cawe, intervensi seseorang terhadap orang lain. Hal demikian, bukanlah pereduksian kebebasan, melainkan sokongan (asupan) spiritual, agar perilakunya berlangsung maksimal, terkendali, sesuai nilai-nilai yang berlaku. Kesalahan sekecil apapun, sedapat mungkin dicegah. Kalaupun terlanjur salah, segera dianulir, dan diimbangi dengan perilaku saleh (kebajikan).

Disadari, tiada seorangpun selalu benar. Berperilaku salah, itu wajar, lazim, dan manusiawi. Walau demikian, tekad dan semangat menjadi orang benar, orang saleh, orang bijak, pantang berperilaku salah kedua, atau ketiga kalinya, wajib menjadi akhlak yang melekat pada jiwa.

Dalam ajaran suci ada kata batil/bathil (berasal dari bahasa Arab), artinya: salah, palsu, tidak benar, tidak sah, rusak, sia-sia, atau bertentangan dengan kebenaran (hak). Kebatilan, sering digunakan untuk menggambarkan perilaku, transaksi, atau perkataan, yang melanggar etika/moral/akhlak. Batil adalah sesuatu yang dilarang/ditabukan.

Sebuah petunjuk, sekaligus peringatan, agar setiap manusia berperilaku benar, berbudaya-hukum adi-luhung, terangkum dalam firman Illahi Robbi: "Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui" (QS. Al-Baqarah: 188).

Baca Juga: Trump: Negara Palestina Hadiah yang Terlalu Besar bagi Hamas

Dari ajaran sakral tersebut, setidaknya, ada dua hal yang patut disimak dan diaktualisasikan, agar kehidupan bersama sarat dengan budaya hukum adi-luhung.

Pertama, dilarang makan harta haram. Keharaman, bisa terjadi, selain karena sifat dan jenis barang/harta dimaksud, tetapi bisa juga karena perolehannya melanggar hukum, yakni cara/jalan yang batil. Misal, ada kong-kalingkong, pelegalan pemilikan/penguasaan sumber daya alam oleh orang/kelompok tertentu. Padahal, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Ayat ini menegaskan bahwa sumber daya alam Indonesia dikelola oleh negara demi kesejahteraan seluruh rakyat.

Kini, dengan Omnibus Law (dan berbagai Undang-undang turunaannya), pelegalan itu terjadi pada berbagai aneka tambang, penguasa bibir laut, lahan, hutan, dan lain-lainnya. Di situ tak ada persahabatan antara investor dengan rakyat setempat. Tak ada pula persahabatan dengan alam/lingkungan. Semuanya diobjekan, dikuras semena-mena, dan diperlalukan secara dzalim.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB
X