opini

Hukum dan Mata Hati

Selasa, 9 Juli 2024 | 17:02 WIB
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (Dok pribadi)

.

Oleh: Sudjito Atmoredjo*

 Di pagi hari. Udara sejuk. Bergilir menjadi hangat. Saat matahari bersinar sempurna. Pepohonan di belakang rumah, tumbuh subur. Tanpa diundang, burung-burung berdatangan. Hinggap di dahan. Berjingkrak-jingkrak sambil berkicau. Sungguh suasana sedemikian indah.

Di saat, jiwa-raga dalam kondisi sehat. Bahan-bahan makan dan kebutuhan-kebutuhan lain cukup tersedia. Amat terasakan bahwa perpaduan kehidupan dengan alam sekitar, seolah gambaran kenikmatan dunia yang tiada bandingnya. Kebahagiaan itu dekat. Mudah dicapai.

Akan tetapi, ketika handphone dibuka. Beberapa informasi dibaca. Alangkah nestapanya negeri ini. Per 9 Juli 2024, beberapa berita viral di media sosial. Antara lain: (1) Sosok Kombes Surawan, Terancam Sanksi usai Pegi Setiawan Menang Praperadilam; (2) Dipanggil Petugas Pajak gara-gara Konten Atta Halilintar, Tompi: Itu Saya Marah Besar; (3) Pernyataan BKKBN Tuai Polemik, Hasto: Perempuan Ditugaskan untuk Hamil, Melahirkan, dan Menyusui; (4) Kuliah di Jogja Bikin Mahasiswa Asli Blora Menyesal; (5) Dekan FK Unair dipecat: Tanggapan Menteri Kesehatan hingga Petisi Dukungan Kebebasan Berpendapat; (6) Telkom dan Indonesat di Pusaran Kasus Data Peretasan Pusat Data Nasional; dan lain-lain. Seluruhnya merupakan berita negatif.

Baca Juga: Tahun Baru Hijriyah untuk muhasabah diri menuju pribadi takwa

Adakah berita-berita positif? Tentu ada. Tetapi jumlahnya amat sedikit. Perbandingannya, amat timpang. Inilah gambaran riil, suasana kehidupan berbangsa. Sedih. Prihatin. Kasihan.

Direnung secara mendalam atas dua realitas kontradiktif terurai di atas, mengusik hati-nurani untuk menelisik akar permasalahannya. Teori-teori ilmiah, terasa tumpul, kurang/tidak tajam, bahkan gagal untuk mengupas tuntas permasalahan-permasalahan rumit itu. Demi terungkapnya makna di balik misteri kasus-kasus tersebut, layak digunakan optik filosofis-religius, sebagaimana diajarkan oleh para ulama.

Imam Ghazali r.a. (dalam kitab Ihya Ulumuddin), mengajarkan bahwa dalam raga ada mata. Di dalam jiwa ada hati (kalbu). Mata adalah penuntun. Mata memiliki kenikmatan pandangan. Mata adalah panglima hati.

Hampir semua perasaan dan perilaku, selalu diawali oleh pandangan mata. Karena itu, hendaknya mata selalu dibawa melihat hal-hal yang baik. Melihat pemandangan alam disekitar rumah, adalah melihat kebaikan. Melihat keagungan ciptaan Ilahi Rabbi. Bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun, selagi mata dalam kondisi sehat. Sebaliknya, bila mata diorientasikan memandang kepada apapun yang dilarang, yakni kejahatan, maka pemiliknya berada di tepi jurang bahaya, meskipun ia tidak/belum jatuh ke dalam jurang.

Baca Juga: Cobalah untuk tidak memihak, simak peruntungan Shio Kuda dan Shio Kambing Rabu 10 Juli 2024

Hati adalah pendorong dan sekaligus pengikut. Hati memiliki kenikmatan pencapaian (bahagia), bila mata mampu menghadirkan realitas kebaikan. Keduanya (mata dan hati) sama pentingnya. Keduanya bekerja sama, secara harmonis. Buah dari kerjasama itu berupa: (1)  sikap syukur pada saat sesuatu dirasakan sebagai kenikmatan; dan (2) sikap sabar pada saat sesuatu dirasakan sebagai kenestapaan.

Ajaran Imam Ghazali, mendorong kepada siapapun untuk menggunakan mata dan hati secara positif. Artinya, realitas apapun di sekitar kita, hendaknya dipahami sebagai kebaikan. Mengapa? Karena, di balik setiap realitas terkandung makna, berupa keberkahan hidup. Dari satu peristiwa ke peristiwa lain, tersambung ke dalam sistem kehidupan. Ujungnya kebahagiaan.

Mungkin saja, kebahagiaan itu bukan sekarang, bukan saat ini, diperolehnya, melainkan pada saat lain yang lebih tepat. Kapan saat tepat dimaksud? Tak seorangpun tahu. Ghaib. Prediksi boleh dilakukan, akan tetapi kepastian sekadar harapan.

Bagi setiap manusia, ikhtiar adalah kewajiban, sementara hasil ikhtiar berada di tangan Ilahi Rabbi. Pengalaman spiritual mengajarkan bahwa setiap orang pernah merasakan betapa nikmatnya tertunda sebuah doa dan ikhtiar. “Untung, saya terlambat. Saya menjadi selamat. Kalau tidak terlambat, dan ikut dalam penerbangan itu, besar kemungkinan saya termasuk korban pesawat jatuh”. Demikian contoh sederhananya.

Halaman:

Tags

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB