Pemaknaan atas realitas alam di pagi hari, dan pemaknaan gelapnya kehidupan orang-orang terlibat berbagai kasus, dapat dipahami sebagai kadar ketajaman atau kebutaan mata hati masing-masing. Di negara hukum Indonesia, mestinya hukum dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan, dengan memaksimalkan ketajaman mata hati. Tidak cukup dengan akal saja. Tak cukup, bahkan sesat, bila hanya nafsu/kepentingan dijadikan argumentasinya.
Kita mesti berhati-hati, karena sedemikian banyak realitas empiris yang membutakan mata hati, sehingga orang-orang menjadi serakah, lupa diri. Marilah kita introspeksi, agar ketajaman mata hati tetap terjaga, dan terjauhkan dari buta mata hati. Wallahu’alam
* Guru Besar Sekolah Pascasarjana UGM