Banyak ayat yang terdapat dalam Al-Quran yang memerlukan interpretasi yang benar.
Kalau interpretasinya dalam pemahaman menurut kecenderungan manusia bukan didasarkan dalil yang kuat akan membawa ke arah yang tidak benar.
Pada hal kecenderungan demikian dapat terjadi sesuai dengan Firman Allah dalam surat Ali 'Iman ayat 7:
فَاَمَّا الَّذِيۡنَ فِىۡ قُلُوۡبِهِمۡ زَيۡغٌ فَيَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَهَ مِنۡهُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَةِ وَابۡتِغَآءَ تَاۡوِيۡلِهٖۚ وَمَا يَعۡلَمُ تَاۡوِيۡلَهٗۤ اِلَّا اللّٰهُ ۘ
Artinya: Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah.
Hubungan manusia dengan Allah suatu hal yang menyangkut aqidah, perlu dasar yang kuat, baik dari Al-Quran maupun Sunnah mutawatirah, yang keduanya menjadi sumber utama pemahaman dan pelaksanaan yang benar yang dijamin tidak akan membawa kesesatan.
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَينِ لَن تَضِلُّوا مَا عَتَكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُولِهِ (رواه مالك).
Artinya: Aku tinggalkan bagimu dua perkara tak akan sesat, selama kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik).
Selanjutnya untuk menjaga diri agar terjaga keselamatan amal perbuatan adalah selalu berkata yang benar, termasuk dalam ajarannya dan selalu menetapi ketaatannya kepada Allah dan Rasulnya akan mendapatkan kebahagiaan yang besar.
Kesimpulan, tasawuf Islam yang berkisar pada akhlaqul karimah yang didasarkan pada Al-Quran dan As Sunnah yang kuat tentu dapat dibenarkan.
Sedang yang berdasar pada interpretasi seseorang yang menjurus pada ajaran yang tidak benar, seperti dengan bacaan tertentu akan menjadikan bertemunya hamba dengan Khaliqnya atau dengan meminjam istilah "manunggaling kawula gusti" tentu jauh dari tasawuf Islam di atas. *