Baca Juga: Waspadai begal payudara, begini antisipasinya
Banyak wartawan yang terpaku pada rutinitas, hanya memberitakan apa yang tersedia di depannya. Entah itu peristiwa, acara, jumpa pers, atau lebih parah rilis yang disediakan para pihak di tempat liputannya. Dia lupa unsur “why” yang kalau terus digali, dapat menghasilkan materi liputan menarik.
Inisiatif ini wujud independensi karena lahir dari gagasan si wartawan, dari “pertemuannya” dengan masalah yang ada di sekelilingnya. Tanpa inisiatif apakah wartawan itu profesional? Bila hanya menjalankan penugasan, arahan, dari editornya, bahkan tidak dapat atau berani untuk memberi catatan tambahan atau usulan, sulit menyebutkan profesional.
Saya kira kondisi ini sekarang terjadi di kebanyakan media massa. Saya mengamati peserta UKW, jarang sekali yang antusias menyampaikan gagasan topik liputan. Ketika diberi contoh, barulah mereka menanggapi. Semuanya datar-datar saja, seperti tidak ada persoalan.
Padahal secara teoritis, apa saja bisa digarap menjadi berita menarik. Kalau tidak ada peristiwa, data-data yang sudah kita kumpulkan dalam kurun waktu tertentu (sebulan, setahun), entah diperdalam atau dibandingkan, bisa menjadi berita layak baca. Data jumpa pers dinas atau lembaga, bisa dikembangkan dari berbagai sudut. Tentu ditambah, jejaring yang kuat, untuk memberi bobot pada angka-angka itu.
Baca Juga: Trilogi pendidikan Ki Hajar Dewantara untuk optimalisasi Tri Pusat Pendidikan Anak
Membiarkan diri terjebak dalam rutinitas, menunggu peristiwa jatuh dari langit, bahkan menunggu rilis yang sudah siap muat, pasti menurunkan kadar profesionalitas. Wartawan harus membiasakan diri sensitif, curiga, suka bertanya, rajin menyapa narsum, untuk mendapatkan ide dan momen untuk memproduksi karya jurnalistik.
***
Khususnya di media siber, wartawan yang kebanyakan tidak lagi bekerja di kantor, saat ini hampir semuanya ditargetkan untuk mengejar kuantitas. Asal banyak, bukan sembarang berita tetapi yang bisa membetot perhatian audiensnya. Jumlah adalah persyaratan dasar, tetapi kemudian berapa banyak yang membaca akan lebih penting, khususnya untuk jumlah rupiah yang akan diperoleh pada hari gajian.
Memproduksi banyak tentu juga buah dari kreativitas dan inisiatif tapi pakemnya sudah dibuat para editor yang memberi penugasan. Topik ditentukan, yaitu yang sedang viral dan diinginkan oleh audiens. Tidak boleh nyeleneh dan keinginan sendiri karena itu membuat space yang disediakan jadi sia-sia, tidak diklik orang.
Ini seharusnya tidak kontradiktif, sebuah media umum haruslah seperti supermarket yang menyediakan berbagai hal, tetapi pada kenyataannya atasan langsung dan atasannya atasan, tentu ingin medianya ramai dikunjungi dan itu artinya harus fokus topik yang sedang menjadi trend.
Kondisi ini tentu saja membuat wartawan tidak lagi begitu berbeda dengan pekerja pabrik, hanya jenis barang yang diproduksi saja berbeda. Malah lebih parahnya lagi, produk pabrik yang cacat pasti diseleksi sebelum dilepas ke pasar, saat ini banyak berita yang “cacat” karena melanggar Kode Etik Jurnalistik, Pedoman Pemberitaan Media Siber, Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, dsb, dibiarkan saja dilahap publik.
Kontrol kualitas kerap bobol, karena soal kecepatan maka yang penting dimuat dulu, kalau ada yang komplain, baru dibetulkan, atau bahkan dihapus.
Wartawan profesional masih ada, dan banyak. Tetapi jumlah wartawan yang hanya menjadi pekerja sesuai pesanan boss-nya lebih banyak lagi. Boss-nya itu bisa pemilik media, bisa juga lembaga tempat dia meliput, atau pihak-pihak yang tidak kelihatan yang ingin agar citra dirinya baik di depan masyarakat. Banyak yang tidak lagi independen, dan tidak lagi sesuai dengan moral dan etik profesinya.
Lalu, apakah wartawan itu buruh atau profesi? Wallahu a’lam bishawab.