'Perang Tanding' Pejabat Negara

- Rabu, 29 Maret 2023 | 10:50 WIB
Prof Dr Sudjito SH MSi (Dok pribadi)
Prof Dr Sudjito SH MSi (Dok pribadi)

Oleh: Sudjito Atmoredjo*

 

PERANG tanding, amat dikenal di jagat pewayangan. Dua bersaudara - Arjuna dan Adipati Karno - berperang sebagai prajurit ksatria. Arjuna membela Amarta/Pandawa, dan Adipati Karno membela Kurawa/Astinapura. Perang tanding ini merupakan bagian dari perang Baratayuda.

Diyakini oleh penasihat bijak (winasis) yakni Batara Kresna bahwa perang Baratayuda mesti berlangsung. Tiada lagi perdamaian, atau win-win solution. Masifnya orang-orang berwatak angkara murka, dan maraknya kejahatan, kerakusan, dan kedzaliman di Kurawa/Astinapura, hanya bisa dibasmi melalui perang. Jadi, perang Baratayuda merupakan sarana pamungkas.

Analogi “perang tanding” tersebut ditampilkan sekadar untuk memudahkan pemahaman bahwa saat ini perang serupa tengah berlangsung antara Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD melawan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, dalam urusan transaksi mencurigakan sebesar Rp.349 triliun. Perang  berlangsung di DPR, Rabu, 29/3/2023 hari ini, dan mungkin berlanjut di pengadilan, atau tempat lain.

Baca Juga: Mahasiswa Unisa dan remaja Masjid Al Falaah gelar talkshow seputar maag saat jelang buka puasa

Sejak dugaan transaksi mencurigakan tersebut viral di media sosial, suara agak keras sudah dilontarkan oleh Menkeu dan beberapa anggota DPR terhadap Mahfud MD. Tak gentar dengan psywar atau pernyataan ofensif itu, Mahfud MD pun siap menghadapinya. Pada suatu kesempataan (Sabtu, 25/3/2023), di hadapan para jurnalis, Mahfud MD dengan lantang berkata “Saya akan datang ke DPR, saya tunggu undangannya. Nanti yang bersuara agak keras supaya datang juga ya”.

Presiden pun peduli dan turun tangan untuk urusan ini. Dikatakan oleh Mahfud MD usai bertemu Presiden di Istana Kepresidenan, Jakarta, (Senin, 27/3/2023): “Ada beberapa  hal menyangkut soal temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai dugaaan pencucian uang di Kemenkeu. Presiden meminta saya hadir menjelaskan ke DPR dengan sejelas-jelasnya dan memberi pengertian tentang apa itu pencucian uang”.

Layak diingat bahwa Menkopolhukam maupun Menkeu, keduanya merupakan menteri-menteri (bawahan) Presiden. Sudah pasti, Presiden tidak mungkin berpihak kepada salah satu dari menteri-menteri tersebut. Apa yang diinginkan Presiden adalah terselesaikannya masalah transaksi mencurigakan sebesar Rp.349 triliun secara tuntas.

Publik berharap kepedulian tersebut merupakan indikator bahwa Presiden merasakan kondisi negara sedang genting atau tidak baik-baik saja. Carut-marut pengelolaan keuangan negara mesti dibenahi secara tuntas. Bila terbukti ada oknum pejabat negara terlibat, mestinya ditindak tegas, dikenakan sanksi hukum, tanpa pandang bulu. Bersihnya institusi pemerintah merupakan prasyarat keberhasilan pembangunan negara secara keseluruhan.

Baca Juga: Mahasiswa Prodi Ilmu Keperawatan meninggal di kamar kos, UMY lalu lakukan screening TBC

Kini bandul penyelesaian masalah berayun-ayun antara Menkopolhukam plus PPATK di satu pihak, dan Menkeu plus DPR di pihak lain. Dapat diduga, demi kewibawaan institusi, masing-masing kubu akan mengklaim sebagai pihak yang benar. Agar tak terkesan memojokkan pihak lain, boleh jadi sesuatu hal (kejahatan) disembunyikan atas kesepakatan bersama. Namun demikian, demi nasib bangsa, apapun argumentasi dan bukti-bukti yang disodorkan masing-masing kubu, mestinya “perang tanding” digelar secara terbuka. Demi terjaganya kepercayaan publik, aspek transparansi menjadi penting dikedepankan. Publik tidaklah mudah percaya dengan distorsi informasi dari kubu yang manapun.

Kiranya harus disadari semua pihak, bahwa berbekal pengalaman sepanjang kehidupan bernegara, ternyata cukup banyak oknum pejabat beserta aparat di bawahnya maupun keluarganya terlibat (bahkan) menjadi “pemain utama” dalam kejahatan keuangan negara. Publik selama ini risih, resah, dan kecewa terhadap sikap dan perilaku “sok berkuasa” dan pamer harta kekayaan, termasuk ketidakadilan dalam pengajian maupun pemberian tunjangan kinerja.

Di Kemenkeu dan di DPR betapa besar penghasilan yang mereka terima. Bandingkan dengan penghasilan guru dan dosen. Amat jauh perbedaannya. Tidakkah terpikirkan oleh para pejabat bahwa kehidupan warga negara di lapisan sosial bawah (grassroots) masih miskin, terlunta-lunta. Kesejangan sosial-ekonomi sedemikian lebar.

Halaman:

Editor: Hudono

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Hukum Sebagai Selimut Kejahatan

Selasa, 30 Mei 2023 | 13:50 WIB

Permaafan, Hukum, dan Martabat Manusia

Kamis, 4 Mei 2023 | 14:30 WIB

Catatan Hendry Ch Bangun:Wartawan Itu Buruh?

Selasa, 2 Mei 2023 | 12:30 WIB

Catatan Hukum Kasus Rp 349 Triliun

Senin, 17 April 2023 | 09:30 WIB

Hukum, Puasa, dan Perilaku

Selasa, 4 April 2023 | 11:00 WIB

'Perang Tanding' Pejabat Negara

Rabu, 29 Maret 2023 | 10:50 WIB

Kepercayaan Publik kepada Aparat Penegak Hukum

Minggu, 19 Februari 2023 | 09:30 WIB

Catatan Hendry Ch Bangun: Ombudsman Media

Rabu, 1 Februari 2023 | 12:00 WIB

Catatan Hendry Ch Bangun: Setelah kompeten, apa?

Selasa, 24 Januari 2023 | 11:00 WIB

Masalah Kesucian Diri di Negara Hukum

Jumat, 13 Januari 2023 | 16:45 WIB
X