Oleh: Sudjito Atmoredjo*
Akhir-akhir ini, rangkap jabatan, marak terjadi. Seseorang bukan hanya menjabat atau menempati posisi strategis pada satu urusan saja, tetapi beberapa jabatan sekaligus melekat padanya. Semakin banyak jabatan, akan semakin lebar pula kesempatan baginya mendapatkan hak-haknya, walaupun kewajibannya tak tertunaikan secara maksimal. Menjadi orang kaya-raya, orang ternama, atau golongan elit, menjadi dambaannya.
Pada ranah sosial-kebangsaan, jabatan diperebutkan banyak orang. Pada umumnya, jabatan itu dipandang dan dimaknakan sebagai kesempatan untuk menduduki posisi tertentu dalam organisasi masyarakat atau pemerintahan. Dengan posisi itu, berbagai kekuasaan, wewenang, dan sekaligus hak-hak tertentu diperolehnya. Jabatan juga dipandang sebagai cara/jalan mendapatkan tambahan rezeki, beserta popularitas, dan berbagai fasilitas dengan mudah.
Pemaknaaan jabatan sebagai terurai di atas, hemat saya, menyesatkan. Saya nyatakan demikian, karena masalah jabatan bukan sekedar urusan sosial-kebangsaan semata, melainkan – dan ini esensinya - juga urusan amanah. Sebagai urusan amanah, maka jabatan wajib ditunaikan dengan benar, jujur, konsisten, profesional, sesuai dengan hukum yang berlaku. Segalanya tertuju pada kamaslahatan kehidupan bersama. Amat keliru dan sesat ketika dengan jabatan, fokus perhatiannya tertuju kepada kepentingan pribadi, keluarga, atau golongan.
Baca Juga: Polda DIY Tetapkan Tujuh Tersangka Kasus Mafia Tanah Mbah Tupon, Tiga Pelaku Ditahan
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, di mana nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai landasan filosofis, maka jabatan apapun wajib dimaknakan sesuai dengan perintah Ilahi-Rabbi. Bagi pemeluk agama Islam, tersurat jelas dalam firman Allah Swt: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menentapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat” (QS.an-Nisa’, ayat 58).
Menurut M.Quraish Shihab, dalam buku Lentera Hati, 1994, halaman 488 dst., di dalam firman Allah Swt tersebut, terdapat beberapa perintah berurutan kepada siapapun orang yang diberi jabatan. Pertama, perintah menunaikan amanat kepada pemiliknya. Jelas, bahwa amanat itu bukan untuk diri pejabat yang bersangkutan. Pejabat, sekaligus sebagai seorang pemimpin, wajib menggunakan segala atribut yang melekat pada jabatannya, untuk kepentingan bawahan, masyarakat, dan bangsa yang dipimpinnya. Tidak boleh, barang sekecil zarah pun, dibelokkan untuk kepentingan pihak lain.
Kedua, perintah menetapkan putusan yang adil. Betapa pun tidak disebut secara eksplisit pada ayat dimaksud, setiap pejabat pada dasarnya seorang hakim. Dalam banyak urusan yang terkait dengan jabatannya, dia wajib memutus perkaranya dengan adil. Adil dimaksud adalah proporsionalitas, terkait dengan posisi, peran, dan tugas-tugas orang yang berperkara, sekaligus kuantitas dan kualitas perkaranya, dalam konteks tempat dan waktu perkara terjadi.
Ketiga, pejabat wajib taat kepada Allah, rasul, dan ulil-amri (pemerintah). Taat kepada Allah Swt berarti menjalankan hukum-hukum Allah dengan konsisten. Ketaatannya, berupa pemikiran, sikap, dan perilaku bijaksana sebagaimana diteladankan rasul-rasul-Nya. Keteladanan dimaksud diaktualisasikan sesuai konteks zaman/kehidupan yang berlangsung. Bila pejabat tersebut berada dalam hirerarki berjenjang, maka wajib ada kesesuaian kebijaksanaan dan keadilan antara pejabat tinggi/pusat dan pejabat rendah/daerah.
Perintah-perintah berurutan dan berkesinambungan pada ayat di atas, juga mengandung petunjuk bahwa penunaian jabatan sebagai amanat, harus berawal dan bersumber dari perintah Allah Swt. Seterusnya, berlanjut melalui kepercayaan publik (public trust) anggota masyarakat/rakyat/umat. Dengan kata lain, penunaian amanat jabatan, wajib berkesuaian dengan ridha Allah Swt dan sesuai pula dengan aspirasi masyarakat/rakyat/umat.
Pada strata sosial-kebangsaan manapun, hubungan dan ketertundukan secara vertikal seorang pejabat pada Sang Pencipta, tidak boleh luntur. Secara horizontal, kepedulian pejabat terhadap aspirasi masyarakat/rakyat/umat tidak boleh luntur pula. Dengan kata lain, setiap saat, dalam urusan apapun, seorang pejabat wajib menengadah ke atas (berdoa), bersimpuh, bersujud kehadirat Allah Swt, sekaligus menengok ke kanan dan kekiri, berbagi salam kepada saudara-saudaranya.
Kiranya penting ditegaskan bahwa jabatan bukanlah hak pribadi, hak keluarga tertentu, atau turunan, melainkan hak umat/masyarakat/bangsa. Dalam konteks demikian, maka tiadalah dibenarkan siapapun berebut jabatan melalui cara-cara haram, semisal: kolusi, nepotisme, suap-menyuap, kong-kalingkong, dan perbuatan tercela lainnya.
Penting diingat pula bahwa menerima hadiah/gratifikasi selama mengemban amanat jabatan, adalah haram hukumnya. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Cobalah dia duduk di rumah ibunya, apakah ia diberi hadiah”?. Pastilah tidak. Pemberi dan penerima suap, keduanya sama-sama sesat, sama-sama berdosa. Sebaik-baik tempat kembali bagi keduanya adalah neraka.